34. Grogi

62.9K 6.3K 618
                                    

Kalau Lala ditanya kapan dia bersedia mengubur dirinya hidup-hidup, Lala akan jawab kalau ini adalah saat yang tepat. Saat di mana dia dengan kurang ajarnya menuduh calon mertua laki-lakinya sebagai peminta sumbangan.

"Eh, maaf Om." Gadis itu mengambil tangan Imran untuk diciumnya sebagai bentuk hormat, "muka Om nggak kayak yang suka minta sumbangan kok, Om. Cuma tadi Lala ngelihat Om kayaknya kebingungan gitu." Lala mencoba memberi penjelasan. "Lala juga nggak ngelihat kalau ada mobil di depan."

"Nggak apa-apa. Kalau kamu nggak ngira saya minta sumbangan, saya nggak akan berani ngomong kalau saya Papanya Ilham." kata pria itu sambil tersenyum. "Kamu calonnya Ilham?" tanya pria itu.

"Iya, Om." jawab Lala dengan nada manis.

"Cantik. Cocok sama Ilham." kata Imran, membuat Lala tersipu malu.

"Siapa, La?" Suara Ilham terdengar di belakangnya.

"Ini ada calon Papa mertua Lala, Mas." teriak Lala.

Ilham sampai di samping Lala. Matanya terpaku pada seorang pria yang mencoba tersenyum kaku ke arahnya.

"Kok pada diem aja sih. Mas, salim dong sama Papanya. Pelukan kek gitu." kata Lala sambil menarik ujung kaus Ilham.

"Diam, La." kata Ilham dengan nada dingin.

"Mau apa anda ke sini?" tanya Ilham, masih dengan nada dingin. Dia memang belum pernah bertatap muka dengan ayahnya. Tapi Raka pernah beberapa kali menunjukkan foto-foto pria di depannya kepadanya.

"Papa lagi ada di Jakarta dua minggu ini, dan Papa dengar dari Bunga, kamu mau menikah." jawab Imran dengan nada kaku. Dia tahu dia salah. Dia tidak punya alasan untuk datang ke sini. Hanya saja, ia terlalu merindukan Irham dan juga Ilham. Bagaimanapun, darah dagingnya mengalir dalam tubuh Ilham.

"Om, ngobrol di dalam aja yuk. Kalau kata Elisa, ora ilok ngobrol di depan pintu gini." Lala mengarahkan sebelah tangannya untuk menyuruh Imran masuk dan menggeser tubuh Ilham sedikit untuk memberikan celah bagi Imran.

"Elisa itu siapa?" tanya Imran saat duduk di sofa. Lala duduk di depannya sementara Ilham masih berdiri di depan pintu.

"Temennya Lala, Om. Putri Solo. Produk jaman beheula." jawab Lala sambil terkekeh. "tapi otaknya paling bener di antara temen-temen Lala yang lain." lanjut Lala.

"Kamu masih kuliah?"

"Masih, Om." jawab Lala. "Mas, masuk sini. Jangan berdiri di depan pintu. Pamali." teriak Lala pada Ilham yang langsung menoleh. Perlahan ia mendekat dan duduk di samping Lala.

"Anda mau ngapain di sini?" tanya Ilham sekali lagi.

"Om, udah makan siang belum? Makan dulu yuk. Tadi Lala sama Masnya abis masak banyak banget." Lala berdiri lalu menarik lengan Imran dan membawanya ke ruang makan.

"Lala!!!" Ilham mendesis kesal saat lagi-lagi Lala memotong omongannya.

***

Ilham menatap Imran tepat ke manik matanya. Setelah berbagai drama dan usaha Lala untuk membuat Ilham menahan amarah yang sudah ada di ubun-ubunnya. Akhirnya ia punya kesempatan untuk berbicara empat mata dengan pria itu.

Pasalnya, siapa yang nggak marah melihatpria itu tiba- tiba ada di depannya. Laki-laki yang wajahnya tidak pernah dilihatnya selama tiga puluh dua tahun dan sekarang, dengan percaya dirinya mengumpamakan dirinya sebagai 'papa'.

"Papa tahu kalau kamu pasti marah sama Papa." kata Imran membuka percakapan.

"Saya nggak perlu kasih tahu. Anda pasti lebih tahu apa yang saya rasain." Ilham menautkan jari-jarinya yang berkeringat.

BiangLala [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang