32. Sejak Kapan Kamu Suka Sama Lala?

54.3K 6K 866
                                    

Dan rasa penasaran Ilham terbayar saat Lala menceritakan semuanya. Termasuk masalah imbalan yang diminta Fabian.

"Kamu numbalin Elisa demi dapetin restu Papa?" Ilham berdecak heran. Bagimana bisa seorang sahabat mengorbankan sahabatnya sendiri untuk kepentingan pribadi.

"Abis nggak ada cara lain lagi, Mas. Mungkin Fabian memang lahir ke dunia ini untuk membantu kita." jawab Lala dengan nada dramatis.

Ilham tersenyum, tak urung memikirkan aksi dramastis Fabian yang sebenarnya amat sangat membantunya. Kapan lagi Aris bisa menyuruhnya mengantar Lala langsung dengan mulutnya sendiri. Ah, kejadian tadi benar-benar seperti mimpi.

Mungkin memang benar kata Lala, kalau usahanya belum juga membuahkan hasil, Fabian mungkin bisa jadi perantara turunnya restu dari Aris.

"Terus rencana dia selanjutnya apa?" tanya Ilham. Lala mengedikkan bahu. Sejak Awal, Fabian memang tidak memberitahukan rencananya. Semua yang terjadi kemarin murni ide Fabian dan tidak ada yang tahu. Laki-laki itu terlalu misterius.

"Ah, akhirnya kawin juga." kata Ilham dengan helaan napas lega.

Dan obrolan mereka berlanjut mengenai tema pernikahan impian Lala dan segala hal yang perlu dipikirkan menjelang pernikahan.

***

Elisa menatap layar ponselnya. Ia menghapus semua pesan yang dikirim Fabian semalam. Gadis itu mulai muak dengan semua tingkah Fabian yang dinilainya berlebihan. Laki-laki itu kini mulai berani mengiriminya puluhan pesan dan terus meneleponnya. Tidak menyerah meski semua pesannya tidak berbalas dan panggilannya tidak terjawab. Panggilan itu baru berhenti saat Elisa sudah kesal dan mengangkatnya untuk memarahi laki-laki itu yang justru tertawa di ujung sambungan dan berkata,

"Nah gitu dong. Gue cuma mau denger suara lo, kok. Selamat malam." Dan sambungan terputus seketika. Membuat Elisa dongkol setengah mati.

Gadis itu menengadah saat mobilnya tiba-tiba berhenti.

"Kenapa, Pak?" tanyanya pada Wiryo. Pria tak berdosa yang kemarin menjadi korban kejahilan Fabian.

"Kayaknya bannya kempes, Mbak." jawabnya sambil melepas safety belt lalu keluar dari mobil. Elisa mengikuti. Dilihatnya pak Wiryo tengah menatap ban mobil depannya yang kehilangan udaranya.

Gadis itu melirik jam tangannya. Kenapa dia harus apes disaat ada kuis di jam pertama sih?

"Yasudah, saya naik taksi aja ya, Pak." kata Elisa.

"Ndak apa-apa, Mbak? Saya takut dimarahi Ibu kalau biarin Mbak berangkat sendiri." kata Wiryo dengan nada cemas.

"Ndak usah bilang Budhe kalau begitu. Saya ada kuis soalnya pagi ini. Jadi ndak boleh telat." terangnya pada Wiryo yang akhirnya dengan sangat terpaksa mengangguk pelan.

Elisa melangkah menuju halte tak jauh dari tempat mobilnya berhenti. Tangannya terayun untuk menyetop taksi yang kebetulan selalu berpenumpang. Ia melirik jam tangannya sesekali lagi hingga sebuah motor besar berhenti di depannya.

Ia mundur beberapa langkah menjauhi tepi trotoar. Memastikan dirinya cukup aman, lalu tatapannya terpaku hingga kaca helm full face itu terbuka dan menunjukkan sepasang mata bening yang sudah dihapalnya. Fabian.

Laki-laki itu membuka helmnya lalu tersenyum.

"Pagi, Putri Solo." sapa Fabian. Elisa mendelik judes.

"Ngapain kamu di sini?"

"Mau nganter lo ke kampus." jawabnya dengan cengiran lebar. Elisa mendengus lalu membuang muka.

BiangLala [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang