Elisa menatap tampilan dirinya di cermin. Kaos putih yang balut bolero bermotif batik warna merah muda, jeans hitam dan sepasang flats shoes sudah melekat dengan semestinya. Ia melirik ke dinding lalu menggumam. Satu... dua... tiga... dan tepat saat hitungan ketiga, pintu itu diketuk, selanjutnya seperti rekaman yang selalu terulang. Pelayan akan masuk ke kamarnya, memberitahu bahwa makan siang sudah siap dan Widya sudah menunggu di ruang makan. Ah, ia bahkan hapal setiap detik aturan yang berlaku di rumah ini.
Setelah wanita paruh baya itu menjelaskan maksudnya, Elisa mengangguk dan pintu itu kembali tertutup. Sekali lagi, Elisa melirik tampilannya di cermin lalu menyambar tasnya dan keluar dari dalam kamar. Langkah kaki membawanya menuruni tangga dan masuk ke ruang tamu. Kakinya terhenti selangkah di depan pintu ruang makan. Tidak hanya ada Widya dan Ervan di sana, tapi senyum Fabian menyambutnya di balik meja makan itu.
Setelah kembali kekesadarannya karena suara Widya masuk ke gendang telinganya berkali-kali, kakinya melangkah pelan dan duduk di tempat biasa, tepat di depan Fabian yang masih saja menyunggingkan senyum manisnya.
Fabian harunsya tahu kalau makan bersama di rumah ini adalah hal yang paling buruk yang pernah dilakukannya. Bayangkan saja, dirinya yang terbiasa menciptakan suasana ramai saat makan, tiba-tiba harus dihadapkan pada tata krama yang membuat mulutnya gatal setengah mati.
Selesai mengajar Ervan, Fabian sudah mengeluarkan jurus bersilat lidah paling hebat untuk menolak ajakan makan siang bersama Widya. Tapi, wanita itu malah bilang kalau tidak sopan menolak sebuah ajakan dan tindakan tercela yang akan disematkan pada Fabian kalau laki-laki itu menolak. Akhirnya, ia mengikhlaskan dirinya menjadi turunan keraton selama setengah jam lebih. Bayangkan, makan yang bisa di selesaikan dalam waktu lima belas menit saja harus di selesaikan dalam waktu satu jam kurang. Banyak faktor, mulai dari teknik mengunyah, kecepatan gerakan tangan dan masih banyak lagi.
Piring Fabian sudah bersih sejak sepuluh menit yang lalu. Dan kini, ia memperhatikan tiga orang itu. Tata krama yang tidak pernah dibayangkan akan dicicipinya walau hanya sebatas makan. Matanya meneliti gadis di depannya. Gadis yang selalu saja ada aksen batik yang menempel di tubuhnya. Entah baju, kemeja, rok, jam tangan, atau hiasan rambutnya. Gadis itu meneguk isi gelasnya saat pirinya kosong, menyusul Fabian.
"Ajeng, kamu diantar Fabian dulu ya." kata Widya setelah menyelesaikan makannya.
"Lho, kenapa memangnya budhe?"
"Pak Wiryo mendadak sakit." jawabnya sambil mengelap sudut bibirnya dengan sapu tangan.
Elisa menatap Fabian yang mengulas senyum jahil.
Setelah berpamitan, Elisa masuk ke mobilnya. Widya tetap menyuruh Fabian membawa mobilnya alih-alih motornya karena khawatir dengan keselamatan Elisa.
"Kok Pak Wiryo bisa tiba-tiba sakit?" tanya Elisa saat roda mobil itu mulai berputar.
"Namanya juga udah tua. Sakit mendadak mah biasa." jawab Fabian entang. Matanya terpaku pada jalanan di depannya.
"Tapi Pak Wiryo ndak biasanya sakit mendadak gitu."
"Lo tuh tahu banget Pak Wiryo yah. Jangan-jangan lo ada hati sama dia?" Fabian tertawa membayangkan itu.
"Jangan kurang ajar jadi orang." kata Elisa dengan dengusan keras. "Ayo jujur, paling nggak, kamu tahu Pak Wiryo sakit apa."
"Lo nggak percayaan banget sama gue."
"Percaya itu sama Tuhan. Bukan sama kamu. Musyrik namanya." kali ini Fabian tertawa keras mendengar jawaban gadis di sebelahnya.
"Tapi lo janji ya, jangan bilang-bilang sama Tante Widya." pinta Fabian. Ia melirik Elisa yang menoleh. "Sebenarnya, gue naruh obat pencahar ke kopinya pak Wiryo."
KAMU SEDANG MEMBACA
BiangLala [TAMAT]
RomanceBagi Lala, Ilham itu nyaris sempurna. Ganteng, soleh, mapan, sayang sama orangtua. Satu-satunya yang kurang adalah sifat juteknya. Jika melihat Lala, Ilham langsung menyalakan sinyal darurat. Tapi, bukan Lala namanya kalau pantang menyerah. Ia melak...