Lala mau putus. Kata-kata itu berputar di telinganya. Ditatapnya benda persegi di tangannya. Benda yang baru saja menyampaikan isi hati Lala.
"Kenapa lo?" Raka menepuk pundak Ilham saat melihatnya termenung setelah menelepon.
"Lala mutusin gue." jawabnya datar. Dalam hati masih tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi.
"Kok bisa? Lo apain tuh anak?" tanya Raka. Ia melirik Mawar yang juga tengah menatapnya di atas ranjang rumah sakit.
"Perasaan gue nggak salah apa-apa deh." jawabnya sambil menerawang.
"Ah, jangan dibiasain apa-apa pakai perasaan." selak Raka. Ia berdiri lalu mendekat ke ranjang istrinya.
Ilham masih terbengong-bengong pasca pemutusan sepihak dari Lala. Dihubunginya lagi nomor itu, tapi tidak aktif.
"Gue salah apa, sih?" tanyanya pada diri sendiri.
***
"Laki-laki bukan cuma Ilham."
"Galau cuma buang-buang waktu."
"Cowok brengsek nggak pantes ditangisin."
"Mati satu tumbuh seribu."
Berbekal ratusan ceramah dari sahabat-sahabatnya, Lala berniat tidak akan lagi membuang-buang air matanya untuk laki-laki seperti Ilham. Toh, laki-laki seperti itu tidak pantas ditangisi. Air matanya terlalu mahal untuk di buang-buang untuk laki-laki macam Ilham.
Cuih, cukup semalam aja Lala nangis udah kayak perempuan yang diputusin pacar yang seganteng Adam Levine. Ilham memang ganteng, tapi bukan berarti Lala jadi buta atas semua kebohongannya yang menyakitkan. Mulai sekarang, dia bersedia menurunkan sedikit standar kegantengan laki-laki yang akan diliriknya. Toh, percuma ganteng kalau tukang bohong.
Made menyodorkan gelas es krim kelima ke arah Lala. "Masih sanggup?" tanya Made. Mereka memang menghabiskan hari di mall hari ini. Makan, jalan-jalan, bermain dan berakhir di kedai es krim.
"Masih, lah." jawab Lala. Ia kembali melahap isi gelas itu. Makanan kesukaannya.
"Cari cowok kaya gitu aja, La." Wina melirik seseorang yang baru saja duduk tak jauh dari tempat mereka berkumpul. Lala menoleh, melihat seorang laki-laki berseragam PNS melambaikan tangan ke arah pelayan. "Cowok yang pakai seragam itu kadar kegantengannya meningkat lima puluh persen." kata Wina bersemangat.
"Security termasuk?"
"Geblek." sungut Wina. "Maksud gue, polisi, angkatan, pilot, PNS, abdi negara dan sederet pekerjaan bergengsi yang udah kelihatan dari seragamnya."
"Nggak usah muluk-muluk deh. Cari yang bener aja. Jangan nilai apa-apa dari kelihatannya." Made menimpali. Wina merengut.
"Berandai-andai boleh kali. Lagian bisa aja yang kayak gitu udah satu paket sama baik." kata Wina.
"Gue mau nikmatin jadi jomblo dulu lah." kata Lala. Ia memasukkan sendok ke mulutnya. Membiarkan efek dingin mendominasi mulutnya. Lala tidak bisa memungkiri bahwa melupakan Ilham tidak semudah membuat telur ceplok. Tapi, dia juga tidak bisa terima dengan perlakuan laki-laki itu. Di mana kebohongan dalam hubungan, menjadi hal yang fatal baginya. Yang ingin ia lakukan saat ini adalah mengenyahkan semua perasaannya yang tersisa pada Ilham. Hingga saat ia memberanikan diri untuk bertemu dengan laki laki itu, ia sudah tidak akan bimbang lagi dengan perasaannya. Ia sudah bisa mengangkat dagu dan menyatakan dengan lantang bahwa ia tidak akan pernah menyesal dengan keputusan sepihaknya.
***
Ilham menyiapkan fisik dan mentalnya saat menekan bel rumah Lala. Dia tidak tahu siapa yang akan muncul di baliknya. Senyum ramah Ayumi dan Yuni atau lirikan sinis Aris. Dia tidak takut pada Aris, maksudnya, ia tidak akan kapok biarpun Aris menghujamnya dengan semua kalimatnya yang menyakitkan hati ataupun pukulan batu akik di tangannya yang membuat tangannya membiru sampai saat ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
BiangLala [TAMAT]
RomanceBagi Lala, Ilham itu nyaris sempurna. Ganteng, soleh, mapan, sayang sama orangtua. Satu-satunya yang kurang adalah sifat juteknya. Jika melihat Lala, Ilham langsung menyalakan sinyal darurat. Tapi, bukan Lala namanya kalau pantang menyerah. Ia melak...