Hari kedua magang, Lala sudah sampai di kantor satu jam sebelum jam masuk. Alasannya cuma satu, dia takut disuruh lembur sama Ilham.
Ia menjadi satu-satunya orang yang ada di ruangan itu saat ini. Membunuh waktu, ia melanjutkan pekerjaannya kemarin. Ilham datang setengah jam kemudian dan terkejut melihat Lala sudah ada di ruangannya.
"Berangkat jam berapa?"
"Nggak tahu, pokoknya masih gelap." jawab Lala cuek lalu kembali fokus ke lembaran-lembaran di depannya.
Ilham mengangkat bahu lalu meneguk air mineral di mejanya sementara komputernya dalam proses loading.
Suara pintu yang diketuk membuat keduanya menoleh. Wahyu masuk dengan sebuah tentengan di tangannya.
"Buat Mbak Lala, dari Mas Farhan." kata laki-laki itu sementara tangannya menaruh bungkusan itu di depan Lala.
"Eh, makasih Mas." kata Lala sambil tersenyum.
Tadi pagi, ia memang bertemu Farhan di lobi. Laki-laki itu cukup kaget mengetahui Lala magang di kantor itu.
Dua buah roti dan satu cup susu cokelat yang masih hangat. Aroma cokelat langsung menguar saat gadis itu membuka bungkusan.
Made: Gimana magangnya, La?
Lala: SURAM.
Wina: Pendekatannya udah sampai mana, La? Sering ngobrol kan?
Lala: JANGANKAN DIAJAK NGOBROL, GUE DI SENYUMIN AJA LANGSUNG SUJUD SYUKUR.
Made: Hahahaaa.
Wina: Boleh ngakak nggak?
Made: Coba penampilan diubah lagi kayak waktu itu.
Lala: Ih, gue naik bus, Made. Risih kali kalau pake rok gitu.
Wina: Nebeng sama Masnya aja.
Wina: Gimana kalau kita ke salon nanti malam. Ubah gaya rambut sedikit.
Made: Ide bagus. Babat aja tuh poninya Lala. Bikin kelihatan kayak bocah.
Lal: Made kok lo nyolot sih?
Sampai saat ini, Lala memang masih setia dengan poni pendeknya yang menutupi dahi. Yang kalau kata Made, membuat Lala kelihatan kayak bocah ingusan.
"Ehm..." Ilham berdehem keras dengan sengaja. Lala yang tadinya senyum-senyum langsung merubah mimiknya dengan serius.
"Kerja jangan serius-serius, Mas. Nanti cepet mati." kata Lala tanpa dosa. Ilham mendelik tajam.
"Kamu fotocopyin nih. Di lantai tujuh, nggak pake lama." Ilham memberikan satu bendel berkas ke arah Lala.
Tanpa pamit, Lala langsung keluar dari ruangan itu, meninggalkan Ilham seorang diri. Suara dering ponsel menggema. Ilham melirik ponsel Lala yang berdering.
Made in Jawa is Calling...
Tiba-tiba ia teringat kata-kata Agam tempo hari. Setelah panggilan itu mati, ia mengambil ponselnya dan menekan kontak Lala lalu menghubunginya.
Matanya menatap ponsel gadis itu baik-baik.
Monster ganteng is Calling...
***
"Dari mana, La?" tanya Agam.
"Fotocopy di lantai tujuh."
"Dih, ngapain jauh-jauh. Di sini juga ada tuh, di ruangan sebelah." Widi menunjuk ruangan lain di lantai itu dengan dagunya.
KAMU SEDANG MEMBACA
BiangLala [TAMAT]
RomansaBagi Lala, Ilham itu nyaris sempurna. Ganteng, soleh, mapan, sayang sama orangtua. Satu-satunya yang kurang adalah sifat juteknya. Jika melihat Lala, Ilham langsung menyalakan sinyal darurat. Tapi, bukan Lala namanya kalau pantang menyerah. Ia melak...