Lima

870 68 2
                                    

***

Keesokan harinya ketika aku baru saja memarkirkan sepedaku, tiba-tiba indah mendekat padaku "in ikut PMR lagi yuk!" katanya.

Aku mengangguk dan langsung menghampiri tasya dengan wajah yang tersenyum riang,
aku mendapat kabar yang cukup membuatku senang, organisasi yang dulu aku ikut didalamnya kini ada lagi.

"Tasya ikut PMR lagi yuk!" ajakku

"Ah tidak, memang ada lagi in?"

"Iya, em beneran kamu nggak mau ikut" tanyaku.

Dia menganggukan kepala, ketika kami hendak menuju ke kelas  langkah kami terhenti.

"Eh itu Rania" Rania ada di depan Ruang guru, yah mungkin dia habis menemui ayahnya, ayah rania memang mengajar di SMP ini, pak eko mengampu Telekomunikasi informasi dan komunikasi.

"Ouh iya kesana yuk in" ajaknya.

Belum sempat kami menyapanya, Rania sudah datang menghampirin kami, ku lihat mimik mukanya sedih, entah apa yang terjadi.

"Kamu kenapa?"tanyaku.

Belum sempat dia menjawab, dia memelukku dengan isak tangis, aku melihat ke arah tasya dengan tatapan tanda tanya, tasya hanya mengangkat tangan.

" kamu kenapa ran?" tanyaku sambil melepaskam pelukannya, aku memegang pundaknya, dia hanya tertunduk, dan masih berlinang air mata, tasya mengisyaratkan kami untuk duduk, lalu aku menuntun Rania duduk di lantai.

"Kenapa sih ran? Kayak anak kecil aja" kata tasya.

"Iya kamu kenapa, em tenangin dulu trus tarik nafas baru kamu cerita ya!" kataku mengelus kepalanya.

"Aku hiks ibuku sakit sya ,in" katanya mulai tenang.

"Sakit apa?"

Rania hanya menggeleng pelan.

"Memang apa yang terjadi" kataku.

"Aku tidak tahu, ketika aku pulang dia sudah tergeletak di lantai"katanya menunduk.

" lalu sekarang bagaimana keadaaanya?" kata tasya.

"Sudah membaik, sekarang ini sudah di rawat di rumah sakit" katanya.

"Sudahlah, kita doain saja , ntar kita sholat dhuha ya doain ibumu biar lekas sembuh" kataku.

Rania mengangguk pelan, kamipun berjalan menuju kelas, Rania masih saja diam, tidak seperti biasanya, yang padahal di sekelilingnya ramai akan gojekan teman-teman, seakan dia berada dalam dunianya sendiri dia tidak merasa terusik akan keramaian yang ditimbulkan teman sekelas.

Bahkan ketika pelajaran di mulai hingga selesai ku lihat dia masih diam, dan entah apa yang dia pikirkan, tidak ada lekuk senyum di wajahnya, matanya yang penuh keceriaan itu redup sedemikian rupa, seakan dia bukan Rania yang ku kenal, seakan sosok di hadapanku ini hanya sebuah patung yang tidak bergerak.

"Ayolah ran senyum" bujuk frida.

"Eh ntar kamu nggak cantik lagi loh!" kata tasya mengoda.

Sudah beberapa kali kami mengodanya, apapun kami lakukan untuk membuatnya tersenyum, namun percuma saja dia tetap diam dan tak bersuara, air matanya tak henti menetes, aku , frida dan tasya hingga kehabisan akal untuk membuatnya tesenyum, namun semua seakan sia-sia, tidak ada guna sama sekali.

"Rania di cariin pak eko" kata salah satu temanku.

Rania pun berjalan dengan lemas menemui ayahnya, entah apa yang dibicarakan mereka, kami pun langsung mengintip dari jendela, terlihat rania memeluk erat ayahnya, dia menghusap air matanya.

Cinta Dalam DiamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang