Good Way

57.7K 6.8K 2.8K
                                    

Aku bekedip-kedip, seketika mataku basah.

Tidak, tidak. Aku tidak menangis.

Debu telah memasuki mataku, dan aku kelilipan. Angin bertiup dengan kencang belakangan ini. Menandakan pergantian musim akan segera berlangsung.

Musim dingin akan tiba.

Waktu memang berjalan dengan cepat. Bahkan, sudah dua minggu aku melewati hari tanpa berbicara dengan temanku, Dawon. Dan biasku, Jimin.

Mereka juga masih belum juga menjumpai goodbye stage, dan selama itu, aku belum pernah satu kalipun menonton mereka secara langsung.

Mungkin Dawon akan kecewa kepadaku. Atau mungkin tidak. Mengingat dia tidak pernah mengirimkan satu pesan pun padaku hingga detik ini.

Meskipun belakangan ini aku hidup dengan datar-datar saja, aku suka dengan perubahan ini. Aku tidak lagi menangis. Aku juga mulai melepaskan hal yang sebenarnya tidak pernah kumiliki, yaitu Jimin.

Inilah tempatku yang seharusnya, belajar dengan giat sampai aku lulus, bergaul dengan teman-teman kuliahku, dan menjadi fans biasa. Karena aku memang bukan siapa-siapa, aku hanya kebetulan dekat dengan mantan Idol yang berada di grup yang kusukai.

Tanpa sadar, aku mengangguk-angguk. Menyetujui pikiranku sendiri.

Aku menarik jaketku agar lebih rapat, suhu sudah mulai dingin malam ini. Aku bahkan tidak akan kaget jika besok salju sudah akan turun.

Mataku memandang lurus ke tepi jalan, langkahku kian melambat seiring dengan pikiranku yang melayang-layang.

Brak

"Ah," pekikku.

Aku tersungkur di trotoar. Kakiku terluka, meskipun hanya lecet sedikit.

Kupandangi tali sepatuku dengan putus asa. Salah satu talinya berwarna hitam sedikit akibat aku menginjaknya tadi.

Aku menghela napas, dengan pelan, kumasukkan tali sepatuku kedalam sepatu. Aku bahkan sudah tidak mencoba untuk mengikatnya lagi. Sia-sia.

Perlahan, aku bangkit dan berdiri lagi sembari menahan rasa sakit di kakiku.

Kugerakkan kakiku perlahan dan mendesis samar-samar.

Aku pun berjalan pulang dengan sedikit pincang.

Setelah menempuh jarak yang agak jauh, akhirnya aku berbelok dan mendapati cafe yang terletak hanya beberapa blok dari rumahku.

Aku bersyukur, sudah dekat.

Dengan menyeret-nyeret kaki kananku dengan semangat, aku akhirnya tiba di depan apartemen.

Tetapi, niat untuk menggerakkan kakiku seketika menghilang.

Disana, di parkiran, di depan mobil hitam, ia berdiri memandangiku dari jauh.

Jimin.

Ia memasukkan kedua tangannya di kantung celananya jeansnya.

Kusadarkan diriku.

Aku kembali berjalan, berusaha untuk mengabaikannya.

Siapa yang tahu, dia hanyalah hantu yang mirip Jimin?

Saat aku berusaha untuk berjalan melewatinya, dia menghentikanku.

Kini, ia berdiri di hadapanku dan melepaskan maskernya. Dan aku pun tahu itu bukanlah hantu, tetapi memang Jimin.

"Aku tidak tahu kau tinggal di lantai berapa, tetapi ternyata kau baru pulang." ucapnya, matanya menatapku hangat. Tangannya yang sedang menggenggamku juga terasa hangat.

That Night. Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang