Betrayed

68.8K 7.2K 655
                                    

Dua minggu kemudian, rasa rinduku kepada Dawon mulai terasa.

Aku mulai tidak terbiasa dengan kesibukannya sekarang. Belakangan ini, aku bertemu dengannya hanya sekali dalam seminggu. Ini karena ia menghabiskan hampir seluruh waktunya di FNC. Ia harus fokus mempersiapkan debutnya yang telah ditunggu-tunggu oleh semua orang.

Tentu saja, aku mendukungnya. Tapi ketidakhadirannya mulai terasa aneh bagiku.

Akhir-akhir ini, aku menyadari. Ternyata beginilah rasanya ditinggalkan oleh seorang teman yang sedang berlari menuju kesuksesannya.

Perasaan tertekan akan ingin sukses tentu saja juga timbul di benakku. Semoga aku dapat menyelesaikan kuliah dengan cepat.

Aku mengangguk-angguk semangat, memotivasi diri sendiri.

"Apa yang membuatmu mengangguk?"

Suaranya membuatku tersadar dari lamunanku.

"Mwo?"

Ia memicingkan mata, "Kenapa kau mengangguk?"

"Aniya. Lupakan saja, Choi Ara." mataku kini terfokus kembali pada sosok gadis di hadapanku itu.

Ara mendecak lalu menggeleng, "Kau sering melamun belakangan ini."

"Begitulah." aku tersenyum tipis.

"Jujurlah. Kau melamunkan siapa?" mata hitamnya menatapku curiga.

Aku menjawab jujur, "Dawon."

Meskipun Ara nampak kaget, ia tetap berusaha agar terlihat tenang. Bukan langsung berteriak dan memukul meja seperti biasanya.

"Wae? Ada apa dengan Dawon?" tanyanya penasaran.

Aku menghela napas, "Aku hanya iri dengan Dawon. Kesuksesan sudah berada beberapa langkah di depannya."

Ara mengangguk, "Benar juga. Kepopulerannya bukan main-main sekarang."

Kutatap Ara dengan sedih, "Kenapa kita selalu punya teman yang populer?"

"Eoh, maja." Ara terkekeh, "Berada di posisi ini merupakan hal yang baik sekaligus sulit bagi kita."

Aku hanya tersenyum miris dan menatap langit-langit cafe.

"Bagaimana hubunganmu dengan Jimin?" tanya Ara tiba-tiba.

Aku, yang seakan baru saja diserang, hanya bisa diam.

Mulutku membisu.

Because,
I don't know it myself.

---

"Aku juga pernah merasakan itu."

Perkataan itu menarik perhatianku. Dan aku menatapnya dengan serius kali ini.

"Jinjja?" tanyaku memastikan.

Ia mengangguk pasti. Senyuman kini terukir di bibir indahnya.

Sosoknya yang hanya disinari cahaya lampu kuning mobil membuat kerutan di wajahnya semakin terlihat. Bayangan hitam di bawah matanya semakin jelas.

Dengan mata yang menerawang, Park Jimin mulai menceritakan kisahnya.

"Aku juga pernah merasakan kesepian karena ditinggalkan oleh kesibukan seseorang yang berharga bagiku." matanya menatapku dengan raut wajah yang membuat semua orang langsung dapat merasakan kepedihan Jimin.

Ia melanjutkan, "Beberapa orang berkata, sibuk adalah tanda kesuksesan. Oleh karena itu aku bahagia untuknya. Tapi aku tidak tahu, kebahagiaanku itu membunuhku juga. Karena aku harus terus bahagia meskipun ia tidak pernah mengabariku sekalipun. Tidak melihat wajahnya dan tidak mendengarkan suaranya."

That Night. Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang