Hurt

85.5K 7.6K 2.7K
                                    

Kutatap tali sepatuku dengan resah.

Meski begitu, aku tetap duduk terdiam di halte bus. Entah sudah untuk berapa lama.

Aku juga tidak tahu sudah berapa bus yang berhenti lalu pergi dari sini. Tadinya aku berniat untuk pergi ke cafe untuk bertemu Ara. Tapi tiba-tiba ia mengatakan ia tidak bisa.

Kuhela napasku, haruskah aku pulang saja?

Aku menyandarkan badan ke tembok kaca halte bus, lalu melirik ke samping kanan.

Wajah Jimin terpajang jelas disana. Ia memiringkan kepalanya sedikit dan tersenyum lebar hingga matanya seakan menghilang. Sementara di sampingnya tertulis 'JIMIN DAY' beserta tanggal 13.10.1995 dibawahnya.

Benar. Beberapa hari lagi, Jimin berulang tahun. Wajahnya sudah muncul di mana-mana, padahal tahun lalu tidak seramai ini. Aku dapat merasakan kepopulerannya semakin meningkat.

Kututup mataku.

Park Jimin.

Jimin.

Sudah lama aku tidak bertemu dengannya.

Semenjak hari itu, aku menjauhinya. Aku mengabaikan telepon dan pesan-pesannya.

Kupikir, aku butuh waktu untuk sendiri dan merenungkan segalanya. Tapi ini lebih sulit dari yang kubayangkan. Aku tidak bisa. Aku tidak pantas berada di dekatnya.

Aku membuka mataku kembali dan menatap foto Jimin itu lagi. Perasaan itu terus kembali. Rasanya begitu perih. Rasa bersalah, malu, dan takut. Semuanya bercampur menjadi satu.

Kualihkan pandanganku dan berdiri, lalu berjalan pergi dari halte tersebut.

Aku berjalan sembari menatap ke bawah, belakangan ini aku bahkan tidak bisa menatap lurus ke depan.

Aku terus berjalan tanpa arah. Setengah jam kemudian, aku mendapati diriku di depan gedung FNC Ent.

Tanpa banyak berpikir, aku mengambil ponsel dari tasku.

Setelah menekan nomor tujuan, aku mendekatkan ponsel ke telingaku.

"Dawon-ah," ucapku begitu telepon tersambung.

  "Eoh, kenapa kau menelepon?", tanyanya. Terdengar jelas ia sedang berbisik.

"Aku sedang di depan gedung FNC, kalau kau tidak sibuk, bisakah kau keluar dulu?" ucapku ragu.

  "Ah, tentu saja. Tunggu, aku akan keluar," ucapnya lalu menutup telepon.

Aku mengernyit, ia terdengar terburu-buru.

Aku pun berjalan mendekati gerbang FNC, seorang satpam yang berada di gerbang menatapku dari kejauhan. Aku tersenyum sembari mengangguk, lalu berjalan mendekat.

"Aku sedang menunggu seseorang," ucapku kepada satpam tersebut.

"Ah, ne. Kenapa tidak menunggu di dalam saja?" tanyanya.

Aku mengangkat alisku, aku tidak pernah masuk ke gedung FNC. "Apakah boleh?"

Satpam tersebut mengangguk dan tersenyum, "Silahkan masuk."

Aku mengucapkan terima kasih dan berjalan masuk ke gedung tersebut.

Gedung tersebut sangat minimalis, jauh lebih mewah daripada gedung Big Hit dulu, sebelum di renovasi.

Aku melihat kursi di dekat resepsionis, lalu duduk di sana.

Kulihat, seorang lelaki berbadan tinggi besar sedang berbicara dengan resepsionis tersebut.

That Night. Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang