Aku tidak membuka mulut sedikitpun hingga Ibuku tiba.
Mataku terus mengabaikannya. Jimin selalu mengajakku berbicara tetapi aku terus bungkam. Aku tidak bisa mengeluarkan satu kata pun dari mulutku.
Ibuku menatapku cemas, ia memegang badanku, "Youngie-ah.." panggilnya lemas dengan menggunakan nama kecilku.
Aku tersenyum kepada Ibuku. Dapat kulihat dari sudut mataku, Jimin berjalan pergi.
Ibuku duduk di kursi yang terletak di samping tempat tidur besi itu. Ia mengelus rambutku, "Sekarang bagaimana perasaanmu?"
Aku membuka mulut, "Sudah tidak apa-apa, eomma."
Ia mengangguk-angguk, air matanya jatuh. Dan dengan cepat Ibuku mengusapnya, tidak membiarkan air mata itu bertahan lama di pipi kirinya.
Kuhela napasku, "Eomma.."
Ibuku mengangkat kedua alisnya, "Hmm?" sembari tersenyum pilu.
Lalu seorang dokter dan asistennya berjalan masuk, diikuti oleh Jimin dari belakang. Ibuku ikut menoleh ke arah mereka, lalu dengan segera berdiri dan membungkuk sekian derajat.
"Keluarga Lee Hee Young?" tanya dokter itu.
Ibuku mengangguk, "Ye, saya Ibunya." (Ya)
"Mari kita bicara diluar," ucap dokter itu ramah, sembari menuntun Ibuku untuk berjalan keluar dari bilik di UGD itu.
Kini, tinggal aku dan Jimin.
Ia menatapku dan aku mengalihkan pandanganku.
Aku dapat melihat dari sudut mataku bahwa berjalan mendekat. Pada akhirnya, ia duduk di tempat Ibuku tadi berada.
Jimin meraih tanganku yang tidak diberi infus, lalu menggenggamnya dengan kedua tangannya.
Ia pun menundukkan kepalanya tepat di atas genggaman tangannya itu. Jimin melakukan hal yang sama persis seperti saat di fansign dulu.
Dan kini aku mulai mengerti. Mungkin Jimin melakukan hal itu ketika ia merasa bersalah.
Ia terdiam di posisi yang sama dalam waktu yang cukup lama.
Aku membuka mulutku dan berkata pelan, "Uljima.. Nan anjugeo." ucapku asal-asalan. (Jangan menangis.. Aku tidak mati)
Lalu, Jimin mengangkat wajahnya.
Dan ia benar-benar menangis. Padahal tadi aku hanya asal menebak saja.
Seketika, hatiku terasa sakit. Melihat Jimin menangis membuatku terluka.
Perlahan, kuhapus air matanya. Masih dengan salah satu tangannya menggenggam pergelangan tanganku.
Aku tersenyum tipis, "Jangan hancurkan wajah tampanmu ini karena menangis. Apalagi karena aku,"
Jimin tersenyum untuk sedetik, lalu senyumnya pudar lagi dan ia mulai terisak pelan. Setelah itu, ia berusaha mengentikan tangisnya. Terlihat jelas bahwa ia sedang mengontrol emosinya.
Bahkan, kini ia menatapku sembari mengangguk-angguk, "Arasseo, aku hampir lupa kau adalah fansku."
"Ya, jangan lupakan hal penting itu." tegurku lalu tersenyum tulus.
Lalu, ponsel Jimin berdering.
Ia melepaskan genggaman tangannya lalu mengambil ponsel dari kantung celananya, "Manajaer Hyung-ida." ucapnya setelah menatap layar ponselnya. (Ini manager hyung [yang menelepon])
KAMU SEDANG MEMBACA
That Night.
Fanfiction[TELAH DITERBITKAN] Kejadian malam itu membuka mata Hee Young dan membuatnya menyadari bahwa mimpi serta angan-angannya memang dapat mejadi nyata. Tanpa ragu sedikit pun, gadis itu bertekad untuk meraih satu-satunya bintang yang menyinari hidupnya...