You

82.7K 8.1K 801
                                    

Udara malam ini cukup hangat.

Angin berhembus dengan santai, seakan tidak berani untuk menghancurkan suasana hati orang-orang. Tipikal cuaca malam pada musim semi.

Aku menatap panggung yang sudah kosong. Para penonton berangsur-angsur sudah mulai keluar dari arena lapangan ini. Pertunjukan telah selesai.

Aku berdiri dengan perlahan dan membersihkan pakaianku dari apapun yang mungkin menempel di sana.

Ara berdeham, "Nan meonjeo galge." Ucapnya sembari menatapku dan Dawon. (Aku pergi duluan)

Saat ia berjalan, aku menahan tangannya. Ia menoleh ke arahku dengan wajah bingung. Alisnya berkerut. "Ya, eodi ga?" (Kau ingin kemana?)

Aku melepaskan tangan Ara. Kini ia berada di antaraku dan Dawon. Ia menatapku, kemudian beralih ke Dawon dan kembali padaku.

"Aku hanya berpikir kalian sepertinya akan membicarakan sesuatu berdua." Ujar Ara dengan wajah polos tanpa ekspresi.

Aku terkekeh dan menggeleng, "Aninde." (Tidak, tuh)

Kemudian, aku dan Ara menatap ke Dawon. Menunggu jawabannya.

Dawon hanya berkata, "Maja." Lalu mengangguk sedikit. (Benar)

"Geuchi?! Aku memang tidak pernah salah menebak situasi." Timpal Ara sembari menatapku dan memberi kode bahwa ia tidak apa-apa. (Benar, kan?!)

Mulutku terbuka lebar, "Ah, ya!" Aku menunjuk Dawon dan menatapnya seakan ia gila, "Apa kau tega membiarkan seorang gadis pulang sendirian semalam ini?"

Ara kemudian memegang lenganku dan berbisik, "Gwaenchanhdago." (Aku bilang tidak apa-apa)

Dawon hanya berdiri menatap kami berdua, tangan kanannya mengusap lehernya dengan ragu.

Lalu, aku merasakan handphone yang sedang kugenggam bergetar.

ParkJimin: Eodiya? (Kau dimana?)

Aku mengernyit dan menulis balasannya.

HeeYoung: Masih di stadion. Wae?

ParkJimin: Tetaplah disana, tunggu sebentar.

Kemudian, aku menutup bibirku. Jangan bilang dia akan kesini? Tidak mungkin.

Tapi kenapa ia memintaku menunggu?

HeeYoung: Mwo?? (Apa??)

Namun, Jimin tidak membaca pesan tersebut.

Jantungku mulai berdegup kencang. Dia memintaku untuk menunggu apa?

Kemudian, aku tersadar akan kenyataan saat Ara mendekatkan kepalanya untuk membaca pesan tersebut.

Aku terperangah, "Nollaejanha!" Kutatap Ara dengan mata membulat. (Kau mengagetkanku!)

Namun, Ara tidak meminta maaf dan sebagainya. Ia balas menatapku dengan mata membulat.

"Mwoya. Kalian sedang lomba tatap-tatapan?" Tanya Dawon yang asik menonton kami dengan aneh.

Ara mendekat dan berbisik ke telingaku, "Sepertinya ia akan kesini."

Aku menggeleng-geleng, kupegang kedua lengan Ara, "Tidak mungkin."

Masih ada banyak orang di sekitar sini.
Tidak masuk akal jika ia datang begitu saja ke lapangan luas ini. Itu sama saja dengan bunuh diri.

Kemudian, Ara mendekat lagi. "Bagaimanapun, kita harus menyingkirkan Dawon dari sini." Bisiknya dengan sepelan dan sekecil mungkin.

That Night. Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang