Eleven | Mingyu : Unplanned Plan

4.5K 656 17
                                    

Aku memang terbaring sakit selama sehari yang jujur membuatku kewalahan, namun aku cukup puas dengan hasil dari rencanaku. Wonwoo bukan saja melarangku memakan masakan udang tempo hari, tapi ia juga sampai jauh-jauh datang ke apartemenku untuk menjengukku ketika aku sakit yang bahkan hal itu sama sekali tidak ada dalam rencanaku.

Ah, aku bermimpi sajapun tidak Wonwoo masih mau mendatangiku. Rupanya kekhawatiran gadis itu masih lumayan besar terhadapku hingga akhirnya ia senekat itu mendatangiku.

Kemarin seingatku, aku menggenggam tangannya sebelum aku tertidur setelah meminum obat darinya. Dan tahu-tahu ketika aku bangun, Wonwoo sudah ikut meringkuk di sampingku dengan tanganku masih memegang erat jempol tangan kanannya. Ia harusnya bisa saja melepas genggamanku, tapi entah kenapa ia membiarkannya seperti itu. Aku merasa terharu karenanya.

Aku sudah merasa cukup sehat ketika aku bangun. Jadi aku dapat dengan leluasa memandangi Wonwoo lekat-lekat sembari mengusap pelan poni yang terjatuh miring di dahinya dengan tangan kiriku yang bebas. Sementara tangan kananku masih belum rela untuk melepaskan genggamanku darinya.

Wonwoo tertidur dengan posisi miring menghadapku saat itu. Wajahnya terlihat damai ketika tidur dan semakin cantik saja. Pulasan make up di wajahnya sudah sedikit luntur, namun tidak melunturkan kecantikan alami yang dimilikinya.

Aku kemudian memiringkan tubuhku ke kanan sehingga aku berhadapan dengannya. Lagi-lagi dengan tangan kiriku, aku menelusuri bingkai wajahnya yang terpahat sangat sempurna. Mata itu, hidung itu, bibir itu, semuanya tak luput dari sentuhanku. Aku sudah betul-betul merindukannya dan tidak dapat menahan diriku lagi. Dilihat dari dekat seperti ini, pipi Wonwoo benar-benar menirus hingga tulang pipinya terlihat menonjol. Hatiku sakit rasanya dan ingin memeluknya. Namun aku harus menahan diriku. Aku tidak mau ia terbangun dan hubungan kami menjadi canggung setelahnya.

Maka setelah puas berlama-lama menatap Wonwoo disebelahku, aku bangun dari tidurku. Aku membetulkan posisi tidur Wonwoo agar terlentang serta menaikkan selimutku untuknya. Selanjutnya aku pergi ke dapur karena perutku berbunyi, minta diisi.

Intinya, malam itu merupakan malam keajaiban untukku. Tidak ada kecanggungan diantara kami, dan kami tetap bisa mengobrol seperti biasanya. Persis ketika kami berpacaran dulu. Wonwoo tertawa dengan lepas mendengar guyonanku yang tidak lucu dan aku juga tertawa untuknya. Rasanya seperti kami tidak pernah berpisah saja.

Kemudian ia juga mau ketika kusuruh menginap, meski ia sempat menolak di awal-awal. Aku senang melihat wajah keheranannya ketika aku bilang kalau aku masih menyimpan baju-bajunya. Pakaiannya itu satu-satunya kenangan Jeon Wonwoo yang ia tinggalkan padaku. Mana bisa aku membuangnya?

Ketika ia akan mengambil pakaiannya, Wonwoo berkata bahwa lemariku terkunci. Ya, aku memang sengaja menguncinya. Minghao sempat tidur beberapa malam disana, dan aku tidak mau ia menemukan beberapa baju wanita dalam lemari itu. Tapi nampaknya Wonwoo tidak menyadari alasanku mengunci lemari itu.

Kalau dipikir-pikir sepertinya sekarang akulah yang lebih pintar membaca wajahnya dibandingkan dia. Semuanya menjadi terbalik sekarang. Wonwoo tidak tahu semua telah kuatur agar berjalan sedemikian rupa. Kalau ia tahu, ia pasti akan menjauhiku saat itu juga.

Aku masih belum memikirkan rencanaku selanjutnya, sampai tiba-tiba kudengar bel apartemenku berbunyi. Hari ini, hari Minggu dan aku sedang bersantai menonton televisi. Aku yang sedang memainkan remote televisi kemudian melemparkannya sembarang ke sofa. Aku berjalan menuju intercome untuk melihat siapa yang datang. Dalam hati aku berharap itu adalah Jeon Wonwoo meski kutahu itu tidak mungkin.

Ketika kulihat siapa yang datang, ternyata itu seorang lelaki yang sangat kukenal. Sepupuku yang berwajah blasteran, Choi Hansol.

"Hyung!" Ia menyapaku dengan cengirannya ketika aku membukakan pintu untuknya.

"Woah, lihat siapa yang datang! Sepupuku yang berwajah blasteran rupanya."

"Haha, bisa saja kau hyung. Ngomong-ngomong selamat atas kenaikan jabatanmu." Hansol menjabat tanganku dan menarikku dalam pelukannya.

"Terimakasih adikku."

Aku kemudian mengajaknya masuk ke dalam dan menyuruhnya duduk di sofa ruang tengah. Aku mengambil beberapa snack dan minuman dari dapur lalu membawanya kehadapannya.

"Tumben sekali kau kemari, ada apa?" Tanyaku sambil membuka camilan.

"Tidak ada, hanya kebetulan lewat saja sebetulnya." Ia menjawab dengan terkekeh.

"Kau ini adik yang kurang ajar juga ya." Aku melempar bantal sofa padanya dan ia tertawa membuat matanya menyipit membentuk eye smile.

Choi Hansol adalah anak dari adik laki-laki ibuku. Ibunya berkebangsaan Amerika dan sudah lama menetap di Korea lalu jatuh cinta dengan adik ibuku dan kemudian menikah. Umur Hansol dua tahun dibawahku. Tapi bisa dibilang sifatnya lebih dewasa dibandingkan diriku.

Hansol cukup dekat denganku meskipun kami jarang bertemu. Aku juga pernah menceritakan masalah Wonwoo ketika kami putus dulu. Aku ingat bagaimana aku menangis semalaman padanya karena putus cinta dari Wonwoo. Karena ceritaku itu, Hansol jadi sedikit tidak suka pada Wonwoo. Ia lalu bersemangat sekali ketika tahu aku telah bertunangan. Bagaimana reaksinya ya, kalau aku bilang ingin mendekati Wonwoo lagi?

"Hyung tidak berkencan dengan Minghao nuna? Bukankah hari ini hari Minggu?" Tanyanya sambil merogoh snack dalam toples.

"Kau sendiri tidak berkencan? Kudengar kau memacari perempuan yang setahun lebih tua darimu?"

"Itu dia masalahnya hyung.." Ia berkata sembari mengunyah snacknya dengan cepat.

"Hari ini aku ingin memberikan kejutan padanya, dan saat aku datang ke apartemennya, ia tidak ada disana. Ketika kutelpon, ia malah sedang pergi dengan teman sekantornya."

"Oh, jadi karena itu kau kemari?"

"Iya, kebetulan saja apartemen pacarku masih satu daerah dengan apartemenmu." Dia berkata sambil terkikik.

"Adik sialan!" Aku melempar bantal kedua untuknya dan lagi-lagi ia hanya tertawa.

"Oh iya hyung, pacarku itu bawahanmu di kantor."

"Benarkah? Di bagian apa?" Aku berkata sambil kembali memainkan remote televisi, tidak tertarik.

"Perencanaan."

Jawaban singkat itu cukup membuat aku membelalakkan mata. Bagian perencanaan di kantorku, berarti bagian yang sama dengan milik Wonwoo.

"Hey siapa nama pacarmu?"

"Seungkwan. Boo Seungkwan. Memangnya kenapa hyung?"

Aku tahu Boo Seungkwan. Aku sering melihat ia bersama-sama dengan Wonwoo.

"Tadi kau bilang pacarmu pergi dengan siapa?"

"Dengan teman sekantornya hyung, hey kenapa mukamu jadi serius begitu sih?" Hansol bertanya sembari mengerutoan keningnya.

"Lalu siapa teman sekantor yang sedang pergi dengan pacarmu itu?" Aku tidak menghiraukan pertanyaannya dan malah balik bertanya.

"Aku tidak begitu mendengar namanya ditelepon tadi, kalau tidak salah aku mendengarnya menyebut nama Wonhee atau Wonhui atau Wonnie, ah tidak begitu jelas."

Aku menyeringai mendengarnya. Meski aku tidak yakin seratus persen itu adalah Jeon Wonwoo, aku tetap ingin bertaruh pada kemungkinan itu.

"Bagus! Ayo kita susul pacarmu!"

"Eh? Kenapa?" Hansol terlihat kebingungan atas sikapku.

"Aku butuh bertemu dengan teman pacarmu itu."

"Maksud hyung?"

"Sudahlah, katakan saja pada pacarmu kalau kau akan menyusul kesana. Dan jangan bilang padanya kalau aku akan ikut."

"Tapi—"

"Kau membawa mobilmu kan? Kita pakai mobil masing-masing, oke?"

"Kenapa?"

"Karena kau harus mengantarkan pacarmu pulang."

- tbc.

Us, Who Can't Break Up ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang