Thirty One | Wonwoo : Giving Up

4.3K 621 67
                                        

Bau harum masakan adalah hal yang pertama kali melesak dalam indra penciumanku tepat ketika aku membuka mata. Aromanya seperti kaldu ayam, dan membuatku lapar seketika. Aku langsung menengok ke atas laci samping kasurku. Ayam kotak itu masih ada disana. Tapi rasanya bukan dari sana sumber harum masakan tersebut. Apalagi ayam itu sudah kumakan dari semalam.

Atau Lee Jihoon?

Aku lalu teringat kalau Jihoon tidak pernah memberitahu kalau akan mengunjungiku hari ini. Lagipula perempuan pendek itu tidak suka-bahkan tidak bisa-memasak. Jadi rasanya cukup tidak mungkin jika Lee Jihoon menjadi sumber bau masakan ini.

Aku kemudian berpikiran, mungkin ini berasal dari aroma masakan tetangga sebelah. Tapi lagi-lagi rasanya tidak mungkin mengingat apartemen kami yang cukup tertutup satu sama lain.

Astaga, aku terlalu banyak berpikir. Kepalaku terasa makin pusing, tapi perutku lapar. Aish! Salahkan semuanya pada aroma masakan ini!

Dengan bersusah payah, aku akhirnya berusaha bangun dari tidurku. Kepalaku terasa berat, rambutku acak-acakan dan tubuhku lengket diseluruh bagiannya karena keringat. Ugh. Aku benci diriku sendiri.

Aku mulai turun dari tempat tidurku dan berjalan terhuyung-huyung menuju dapur. Aku berjalan dengan pelan sekali sembari menggapai-gapai tembok. Rasanya aku akan jatuh kapan saja dan membutuhkan pegangan.

Setelah perjalanan yang terasa panjang, sampailah aku ke ambang pintu dapur. Betul saja, rupanya sumber harum masakan itu ada di depan sana. Aku dapat melihat satu pot panci dengan tutup setengah terbuka dihiasi dengan kepulan asap beraroma kaldu.

Heol, aku tidak peduli lagi siapa yang memasak seenaknya di dapurku. Aku lapar dan aku ingin makan.

Ketika aku ingin melangkah lebih jauh, aku merasa tubuhku mulai oleng. Aku tahu aku akan ambruk kali ini sampai kemudian aku merasakan sesuatu menahan tubuhku dari belakang.

"Eoh? Jeon?"

Suara berat itu terdengar lembut dan familiar. Rasanya aku tahu siapa pemilik suara itu. Tak ingin berspekulasi lebih lanjut, kutolehkan wajahku ke belakang untuk mengetahui si pemilik suara.

"Hey, apa yang kau lakukan disini? Memangnya siapa yang membolehkanmu berjalan-jalan begini, hm?"

Kim Mingyu.

Aku mengerjapkan mataku setengah tak percaya. Apakah aku sedang berhalusinasi? Heol, demamku benar-benar sangat parah rupanya. Sampai-sampai wajahnya terlihat jelas oleh kedua mataku.

"Badanmu panas sekali, kau ini betul meminum obatmu atau tidak sih?"

Apakah ini sungguhan Kim Mingyu?

"Kenapa kau ke dapur Jeon? Kau lapar? Kalau begitu kembalilah ke kamarmu dulu, oke? Nanti kubawakan sesuatu."

Sosok -yang sepertinya adalah Kim Mingyu- itu kemudian merangkulku dan berjalan sembari memapahku. Sosok berwujud lelaki itu membawaku kembali ke kamar. Aku menuruti saja semua perlakuannya karena aku sangat lemah untuk bahkan mengetahui apa yang sedang terjadi kali ini.

Sesampainya di kamar, ia lalu medudukkan ku diatas kasur setelah sebelumnya menaruh beberapa bantal di belakang punggungku sebagai penyangga. Lelaki itu kemudian menarik selimutku hingga menutupi pinggangku.

"Tunggulah disini." Ucapnya sembari membelai kepalaku lembut sebelum menghilang dari balik pintu kamarku.

Ah,

Benar sekali,

Usapan jari-jemari besarnya itu,

Aku tahu persis, kalau itu adalah milik Kim Mingyu.

Mingyu kembali sembari membawa semangkuk bubur ditangannya beraroma kaldu ayam. Ia lalu menyuapiku dengan telaten. Matanya tidak terlepas memandangiku. Dari sorotan pupilnya, aku dapat melihat pancaran kekhawatiran yang begitu besar untukku.

Aku kemudian memandangi Kim Mingyu dengan pandangan sedikit kabur. Lelaki itu berbalut kemeja warna putih, dan celana hitam. Lengan kemejanya yang panjang ia gulung sampai siku. Rambutnya terlihat rapi sekali. Ditata keatas dengan menggunakan gel, sehingga memperlihatkan dahinya yang kokoh.

Aku berusaha sebisaku mencerna segala sesuatu yang tengah terjadi. Namun gagal. Nampaknya otakku masih terlalu lelah untuk berpikir bagaimana dan kenapa ia bisa sampai berada disini.

Maka dari itu, aku membiarkan saja Kim Mingyu meyuapiku, sambil sesekali mengusap bibirku untuk membersihkan beberapa remah bubur tertinggal disana. Aku membiarkannya. Hanya membiarkannya. Tidak menolak atau bertanya macam-macam.

Kalian tahu?

Aku lelah.

Sangat lelah.

Ah,

Mungkinkah ini waktuku untuk menyerah?

Karena sejauh apapun aku berusaha menghindarinya, lihatlah, Kim Mingyu masih tetap berada di hadapanku.

"Gyu..."

Aku menyebut namanya dengan lirih ketika ia sedang mengangkat suapan kelimanya untukku. Tangan kidalnya yang mengangkat sendok terhenti di udara. Ia langsung meletakkan kembali sendok itu ke dalam mangkuk bubur yang dipegangnya dengan tangannya yang lain.

Sebagai gantinya, tangan itu kini mengelus pipiku dengan perlahan.

Perlahan dan lembut.

"Iya, sayang?"

Bola mata Mingyu menatapku dengan teduh dan dalam. Aku bisa melihat pantulan wajahku dari pupil coklatnya dari jarak wajah kami yang begitu dekat.

Aku menatapnya balik. Pandangan kami beradu. Kubiarkan jeda yang cukup lama hadir di antara kami. Seperti waktu terhenti, tidak ada yang bergerak atau berbicara.

Kim Mingyu masih menatapku dengan tangan yang berada di pipiku. Sementara aku terdiam menatapnya balik.

Sampai akhirnya kuputuskan untuk mengatakan sesuatu padanya.

Kuputuskan tanpa berpikir lagi untuk kedua kalinya.

Karena aku sudah tidak peduli dengan apapun. Persetan untuk semuanya.

Heol, aku tahu aku salah.

Tapi hal ini tetap harus kukatakan.

Karena kalau ternyata sisa umurku tidak lama lagi, aku akan menyesal jika tidak mengatakan ini.

Karena kata-kata ini adalah ungkapan  perasaanku, yang tidak berubah dari dahulu, bahkan sejak pertama kali bertemu dengan lelaki itu.

Ya, tentu saja,

Semua masih sama.

Kim Mingyu masih dengan sabar menungguku membuka suara.

Akhirnya, setelah menutup mataku sejenak dan menghela nafas dalam-dalam, kubuka juga mulutku dan berkata sesuatu.

"Gyu..."

"Aku mencintaimu..."

- tbc.

Us, Who Can't Break Up ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang