Prolog

82.2K 2.5K 59
                                    



Suasana dalam ruangan berbau khas itu hening mulanya. Dua orang di dalam ruangan tak jua membuka suara, terpekur dalam keheningan yang menggerayahi. Wanita yang terbaring di atas ranjang itu berdehem, mengusir rasa tak enak yang menyekik tenggorokannya.

"Mas."

Si lelaki berdehem sebagai jawaban. Ia menyentuh punggung tangan kurus milik istrinya, mengusap satu per satu jemarinya, merasakan bahwa makin hari tubuh wanita ini semakin kurus.

"Menikah dengan Kak Salsha ya?" Wanita itu berkata lirih, maniknya menyua netra gelap sang suami penuh harap seolah dirinya enggan menerima penolakan dalam bentuk apa pun dari lelaki itu.

"Aku udah jawab dari kemarin, kan?"

"Tapi..."

"Steff..." Lelaki itu berujar lemah, sama lelahnya dengan si wanita yang terus meminta dirinya untuk menikahi kakak dari si istri. Permohonan luar biasa gila yang tak pernah sekalipun hinggap di dibenaknya. "Jangan bercanda. Aku enggak mau," tegasnya menambahi.

Wanita itu memegang dadanya tiba-tiba. Rasa sakit kembali menggerayahi tubuhnya. Meski begitu, ia masih bersikeras untuk beradu argumen dengan sang suami alih-alih diam mengadu tentang rasa sakit ini.

"Baal..."

"Aku mohon, Steff... Jangan nyiksa diri kamu kayak gini. Ide kamu itu konyol. Nggak masuk akal. Aku bahkan nggak kenal dekat sama Salsha apalagi Aqila," ujarnya dengan nada gusar, berusaha semaksimal mungkin menekan amarah agar tak lepas kendali melampiaskan emosinya karena Steffi terus memaksa dirinya untuk menikahi Salsha, kakak kandung wanita itu.

Iqbaal lelah. Sungguh. Ia lelah—muak karena Steffi terus menyebutkan pembahasan ini sampai di hari ketujuh. Iqbaal bahkan tak mengenal Salsha dengan dekat karena wanita itu bekerja di Malang. Mereka jarang sekali bertemu karena Salsha akan pulang ke rumah mertuanya ketika dia mengambil cuti, sedang Iqbaal dan Steffi tinggal di rumah mereka sendiri. Jadi intinya... Iqbaal tak mengenal Salsha dengan dekat, begitupula dengan Aqila—putri semata wayang mereka—yang menjadi alasan mengapa Steffi bersiteguh menyuruhnya menikahi sang kakak.

"Aku ngelakuin ini demi kebaikan kamu dan Aqila," terang Steffi menjelaskan maksudnya.

Iqbaal menggelengkan kepala menolak gagasan sang istri. Ia menyentuh punggung tangan Steffi untuk diangkat dan digenggamnya dengan kuat, tak mau melepas tangan kurus itu. "Kalau gitu, cukup dengan bertahan di sisi aku, di sisi Aqila, berhenti buat maksa aku—"

"Dokter Fadli bilang, hidup aku nggak lama lagi dan aku nggak mau Aqila jatuh di bimbingan wanita yang salah ketika nanti aku—" ucapannya terhenti ketika suara serak Iqbaal terdengar lagi.

"Berhenti. Tau apa dokter Fadli tentang batasan hidup seseorang? Please, jangan buat semuanya menjadi sulit, Sayangku. Aku dan Aqila hanya butuh kamu, bukan Salsha atau wanita manapun."

Steffi terdiam membiarkan sang suami mengecupi buku-buku jarinya, memaku netranya dalam tatapan dalam. Karena kamu gatau kalau semakin hari bernafas terasa semakin sulit, batin Steffi dalam hati.

"Kalau gitu janji sama aku."

"Steff..."

"Baal?"

Iqbaal terdiam. Ia kalah telak oleh wanitanya membiarkan Steffi kembali menyuarakan permohonan tak masuk akalnya.

"Kalau begitu janji sama aku buat ngejaga Kak Salsha saat aku udah nggak bisa bertahan di ruangan ini lagi," katanya lagi. Iqbaal menatap ke arah Steffi dengan pandangan yang sulit diartikan. Sedangkan yang ditatap, begitu mengisyaratkan pandangan memohon.

Nyatanya, Iqbaal Arka Wijaya begitu lemah dengan Steffi. Wanita yang saat ini tengah berjuang menghadapi penyakit yang telah menyentuh stadium empat.

"Baal.." melasnya lagi.

Iqbaal berdehem memasuki janji tanpa sadar yang membuat Steffi mengulas senyuman tipis merasa bahwa permohonannya telah disetujui oleh sang suami.

"Tapi kamu harus janji untuk tetap bertahan demi aku dan Aqila. Tetap bertahan demi impian kita untuk memiliki dua anak. Tetap bertahan untuk hidup hingga kita menikahkan anak kita. Dan tetap bertahan hingga kita memiliki cucu. Janji itu... kamu inget kan, Sayang?" tanyanya dengan pandangan penuh cinta.

Air mata yang menggenang kini telah mengalir di pipi Steffi. Wanita itu mengangguk saja, walau nyatanya semua yang diucapkan Iqbaal hanyalah khayalan. Dia tak akan bisa hidup selama itu. Dia tak akan bisa bertahan sampai di detik itu. Impian-impian yang mereka rajut mungkin akan berhenti sebentar lagi. Steffi merasakannya. Ia merasakan bagaimana tubuhnya yang semakin hari semakin tak bisa dikendalikan.

Lelaki itu merengkuh tubuh sang istri membawa si wanita dalam dekapan hangat, menghadiahi kecupan di atas puncak kepala. Steffi tersenyum dalam rengkuhan Iqbaal, merasakan kecupan yang dijatuhkan di atas puncak kepalanya, menyimpan aroma tubuh sang suami yang mungkin tak bisa ia hirup di kemudian hari.







—CUT!

Tante SalshaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang