Should I - 25

21.6K 1.2K 116
                                    

Happy Reading.

"Bagaimana keadaannya dokter?" ujarnya ketika melihat sosok dokter Kyungsoo keluar dari bilik rawat setelah lima belas menit memeriksa keadaan Salsha.

"Sejauh ini tidak ada hal yang perlu dikhawatirkan. Nona Salsha butuh istirahat dan menyegarkan pikirannya. Saya pikir, Anda perlu memantau lebih intens lagi kondisi psikis beliau," jawab dokter muda itu.

Iqbaal mengangguk dan dokter Kyungsoo pun berpamitan tuk berlalu. Ia memilih untuk langsung masuk ke dalam kamar dimana wanita itu dirawat.

Wanita itu terbaring lemah diatas ranjang dengan selang infus yang tertancap ditangannya. Iqbaal mengembuskan napasnya dalam sebelum bergerak mendekati wanita yang ia temukan pingsan dikamar mandi tadi.

Sungguh, jantungnya seakan berhenti berdetak ketika melihat sosoknya terbaring dibawah guyuran air shower yang masih menyala. Untung saja ketiga sahabatnya langsung membantu bergerak cepat membawa Salsha ke rumah sakit. Sekarang, mereka tengah membantu mengurus biaya administrasi. Iqbaal perlu berterimakasih pada mereka.

"Jangan kayak gini lagi, Sha," ujarnya lemah. Ia mendekat ke arah si wanita yang masih pulas dalam tidurnya. Digenggamnya jemari itu, kemudian ia mengusapnya dengan penuh kelembutan.

"Maaf. Aku sadar apa yang udah terjadi adalah kesalahanku, Maaf Sha. Maafin aku," ujarnya bermonolog.

Dia terlampau merasa bersalah akan semua kejadian ini. Iqbaal pun menyadari jika wanita ini sengaja mengguyur dirinya dibawah air shower. Iqbaal tahu tentang kebiasaan menangis Salsha dari Steffi, akan tetapi bodohnya ia tak berusaha menghentikannya. Ia terlalu cuek dan tak perduli akan keadaan wanita yang telah menjadi istrinya itu.

Dia tahu, karena egonya yang tinggi membuat satu hati patah. Tangannya bergerak mengusap rambut Salsha yang masih basah kenudian menyondongkan tubuhnya tuk mencium kening sang wanita.

"Lekas sembuh, Salsha."

Tiba-tiba saja bunyi pintu kamar rawat terbuka dengan lebarnya. Ia menatap ke arah si pelaku yang ternyata adalah Karel dan Jeha. Wajah lelaki itu tampak pucat ditambah buliran keringat yang membubuhi dahinya.

"Gimana keadaannya?" tanyanya dengan napas memburu.

Iqbaal tidak mengerti mengapa hatinya merasa tak rela akan ekspresi Karel sekarang. Sebagai lelaki, dia paham benar artian dari wajah Karel saat ini. Karel mencintai Salsha. Lelaki itu mencintai istrinya dan kenyataan itu membuat dirinya marah.

Entah atas dasar apa ia marah sekarang. Bukankah dirinya sendiri yang berkata bila taada rasa untuk Salsha? Lalu, pantaskah ia sekarang bila ia merasa marah?

"Keadaannya baik," jawab Iqbaal singkat. Ia mengalihkan tatapannya dari Karel dan memilih untuk mengeratkan genggamannya ditangan Salsha. Diliriknya, Karel yang berjalan mendekat ke arah ranjang.

"Kenapa bisa seperti ini? Dia pingsan di kamar mandi kan?" ujar Karel menatap lurus ke arah wajah pucat Salsha. Sejujurnya ia tak tega melihat rautan itu dari wajah perempuan yang begitu ia cintai. Perempuan yang meluluhlantahkan segala pikiran jernihnya. Perempuan yang membuatnya bertahan meski ia tahu cintanya tak terbalas.

Bagi Karel, Salsha itu berharga. Sampai-sampai dia merasa bila tak akan ada perempuan sepertinya. Ketulusan hatinya membuat dia yakin akan tindakannya tuk membuat perempuan itu sadar akan dirinya. Meski Karel harus menelan kenyataan pahit jika Salsha begitu mencintai Iqbaal---si lelaki tidak tahu diri yang dengan tega menyakiti hati perempuannya.

"Jika Anda tidak mampu menjaganya dengan benar, maka biarkan saya mengambilnya," ujar Karel dengan formal.

Iqbaal menatap ke arah lelaki yang saat ini menyedekapkan tangannya itu, tatapannya begitu biasa dan sikapnya kelewat santai seolah tak ada sepatah kata yang baru saja diucapkannya.

Tante SalshaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang