Happy Reading.
Mobil putih itu berhenti tepat di halaman milik keluarga Camelio, Salsha terburu buru keluar berlari masuk ke dalam rumah minimalis itu. Peluh membasahi wajah cantiknya namun ia bahkan tak mengusapnya dan lebih memilih memencet bel rumah. Setengah jam yang lalu, Bi Tuti--selaku pekerja dan juga pengasuhnya sedari kecil mengabarkan jika Ibundanya baru saja terjatuh dari kamar mandi. Hal itu tentu saja membuat Salsha khawatir. Meski Ibundanya kerap bersikap tak baik padanya akan tetapi perempuan itu tetaplah wanita yang melahirkannya.
Salsha tak mau bersikap durhaka dengan membenci Ibu kandungnya sendiri. Dia yakin, Ibundanya tak bermaksud bersikap sedemikian.
Jemarinya tanpa henti memencet saklar bel itu. Bibirnya bergerak tanda jika ia tengah gundah, tak lama kemudian pintu cokelat itu terbuka. Bi Tuti lah pelakunya, wanita berparas keibuan dengan celemek dan senyum menenangkannya itu menyambut Salsha.
"Maaf ya non, saya tadi habis ke kamar mandi," ujarnya sembari membuka pintu mempersilahkan Salsha masuk.
Perempuan itu menyalaminya. Ia tak lupa akan jasa wanita ini dimasa lampau. Hingga sejak sekarang, Salsha menganggapnya sebagai Ibu keduanya setelah Ibu kandungnya.
"Bunda ada dikamarnya, Bi?" Bi Tuti mengangguk seraya mengusap lembut surai cokelat Salsha.
"Yaudah, Saya temui Bunda dulu ya Bi," pamitnya kemudian berlalu meninggalkan wanita yang saat ini menatapnya dengan seutas senyumannya.
Sementara itu, Salsha menarik nafasnya sebelum akhirnya ia membuka pintu bercat putih gading itu. Hingga ia melihat sosoknya ada disana. Duduk menyandar diatas ranjang dengan kaki yang dibalut perban.
Salsha merasa nyeri tiba tiba menyerang hatinya. Ia terluka melihat rautan wajah pucat itu. Pun dengan balutan di kakinya. Dia melangkah mendekat, namun..
"Kamu senangkan lihat saya seperti ini?" tatapan tajam serta suara dingin itu membuat Salsha mendongak.
"Maksud Bunda apa?"
"Ck," wanita separuh baya itu berdecak kemudian menaruh majalah yang tadi dibacanya. Tatapannya terpatri pada Salsha, menghunusnya dengan pancaran bola mata hitamnya.
"Kamu senang karena saya lemah? Atau sedih karena tak kunjung mendapati saya mati?"
Salsha tercekik. Bukan karena seseorang yang menghambat laju pernafasannya. Melainkan karena ucapan Ibundanya yang benar benar diluar nalar. Mana mungkin dia berpikiran serendah dan sekeji itu? Meski perilaku Ibunda yang kerap kali menyakitinya, Salsha tak pernah memiliki pikiran sehina itu.
"Bunda..Salsha gak mung-"
"Apasih hebatnya kamu sampai suami saya sampai iba sama kamu. Apasih hebatnya kamu hingga takdir membuat keadaan seperti ini," ujarnya sambil menerawang ke depan. Salsha terdiam, menatap Ibundanya yang tampak memikirkan sesuatu.
"Dulu, Steffi sangat bahagia hingga dia lupa cara untuk berhenti tersenyum ketika takdir membuat Iqbaal melamarnya," ujarnya tiba-tiba membuat Salsha menatapnya semakin dalam. "Dan mungkin dia juga menangis karena takdir mempermainkannya. Iqbaal menikah dengan orang yang dianggapnya kakak terbaik."
Salsha tak tau apa penyebab Ibundanya melanturkan pembicaraan. Mungkin, kepergian Steffi masih belum bisa diterimanya. Salsha berusaha maklum meski sebagian hatinya sakit. Lagi-lagi ia mengalah.
"Kamu tahu Salsha? Kamu bukan kakak yang baik untuknya. Kamu itu pembawa bencana untuk hidup Steffi dan juga hidupku."
"Bunda.."
"Berhenti memanggilku seperti itu bodoh!" tukasnya yang membuat Salsha terhenyak. Helen mengutas sebuah senyuman sinisnya, menatap Salsha tanpa rasa iba.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tante Salsha
Romantizm[ REVISI] Ini tentang jatuh cinta dan kesakitannya. Salsha pikir hidup dengan lelaki yang dicinta hanya akan mendatangkan senyum dan tawa, bahagia dan cinta. Rupanya, dawat yang ditulis tak demikian. Lagi-lagi ia harus menerima kenyataan bahwa lar...