Iqbaal's Diary - 48

31.6K 1.1K 87
                                    

Happy Reading.

Iqbaal's POV. 

Menurut sebagian besar pria beristri, menghadapi fase di mana sang istri hamil adalah hal yang menyenangkan. Sebagian karna larut dalam euforia calon ayah—biasanya pasangan pengantin baru—  sedangkan lainnya akibat buah hasil 'kerja keras' yang tak sia-sia hingga tak sabar menghadapi masa di mana sang istri akan menjadi lebih manja berpuluh kali lipat. 

Jika kalian bertanya bagaimana perasaanku di antara kedua pendapat itu maka jawabannya adalah tidak kedua-duanya.

Tidak-tidak. Jangan berpikir jika aku tidak suka kehamilan Salsha. Bukan tidak suka. Hanya saja... aku susah mengatakannya.

Oke, kalian tentu tahu jika aku telah memiliki dua anak dari wanita yang berbeda. Aku tentu mengerti dan paham bagaimana kondisi pada fase-fasenya.

Mual, muntah, manja, gampang menangis, mudah kelelahan, mood swing, mengidam, dan hal-hal lain yang aku tahu ketika Steffi ataupun Caitlin hamil.

Berbeda lagi dengan Salsha. Wanita itu...entah bagaimana aku harus menyebutnya. Tapi dia cenderung...aneh.

Seolah menjadi sosok yang 'berbeda'.

Dia cenderung seperti mengerjaiku. Bukan masalah meminta makan tidak biasa di tengah malam. Steffi dulu juga pernah meminta rujak manis di pukul 1 dini hari. Caitlin pun pernah meminta mie ayam dan nasi jagung di pukul 12 malam.

Kadang aku berpikir, apa tingkah Salsha itu hanya akal-akalan untuk mengerjaiku. Sekali lagi aku tegaskan. Aku bukannya tidak suka. Hanya saja... lebih baik kalian analisa sendiri dari ceritaku ini.

***

Bulan ke-empat kehamilan Salsha.

Hari ini adalah tepat bulan ke empat kehamilan Salsha. Artinya, genap dua bulan aku tak lagi muntah, mual, pusing, dan hal-hal aneh lainnya—yang biasanya di alami ibu hamil.

Ini tak masuk akal. Meski beberapa calon ayah mengalami syndrom ini, rasa-rasanya aku masih tak percaya. Dua bulan lalu, aku menjadi sosok yang tampak begitu lemah sedangkan Salsha? Wanita itu begitu biasa seolah tak terjadi apa-apa.

"Kamu udah mandinya?" Aku melirik kemudian mengangguk ke arah Salsha yang menyembulkan wajah cantiknya di pintu.

"Kamu nanti pul—ukhh! Kamu bau banget sih!" Salsha memundurkan langkahnya, menutup hidungnya dengan tangan kanan sedangkan tangan kiri bergerak seolah menghalau sesuatu.  

"Aku udah pakai parfum, Sayang," kataku sembari menatapnya heran.

"Parfum kamu bau! Aku gak mau tau ya, pokoknya jangan pakai parfum ini lagi!" Salsha melotot disertai nada diktator yang terucap dari katanya, "jangan keluar rumah kalau bau ini masih ada di badan kamu! Kamu mau buat perempuan di luar kegoda!"

Aku melongo menatap kepergiannya.

Apa tadi? Bau?

Hah! Bukannya menyombongkan diri. Aku ini memakai Chanel Grand Extrait,lhoo... yang harganya tidak main-main. Aroma perpaduan bunga mawar dan melatinya yang aku yakini membuat perempuan menoleh dua kali.

Dan Salsha mengataiku bau?

What the he—

Eh? Bukankah tadi ia berkata 'menggoda perempuan', ya? Tanpa sadar aku tersenyum bangga. Dia cemburu. Pasti!

Aku menatap pantulan wajahku di cermin, kemudian tersenyum bangga pada karunia Tuhan yang kudapat.

Aku bahkan masih tampan dengan ada atau tidaknya aroma itu.

Tante SalshaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang