Happy Reading.
Salsha percaya sekarang. Bila segala sesuatunya tak bisa berjalan sesuai dengan harapan dan kehendaknya.
Harapannya ketika kecil ialah bila nanti dirinya dewasa bisa menemukan satu tambatan hati yang benar tulus dan miliknya. Artian miliknya adalah khusus hanya untuknya. Tidak untuk dibagi dengan siapapun.
Akan tetapi, hari ini seolah menjadi tombak penghancur harapannya. Dia tak pernah mengira bila hari penghancur yang telah diprediksi benar-benar datang secepat ini.
Dia hancur, rapuh, sakit, dan kecewa.
Salsha ingin berteriak. Memprotes sang pembuat alur kehidupan tuk mengadu segala kesusahan dan kesakitannya. Dirinya merasa jika saat ini raga dan jiwanya telah berada pada suatu titik terendah kata menyerah. Diapun ingin tenang dan hidup dalam kebahagiaan. Tetapi mengapa dua kata itu seolah sukar tuk diraihnya?
Dosa apa sebenarnya ia dimasa lalu, hingga Tuhan seolah begitu keras memberinya cobaan?
Ia hanya manusia biasa yang punya titik lelah. Dia hanyalah Salsha, si gadis yang banyak berharap pada sosok Iqbaal. Sayang, lelaki itu menghempas segala angan delusinya. Dia terjatuh sekarang meski belum tertimpa tangga ataupun rontokan batu tebing curam. Dia hanya jatuh, karena sesungguhnya definisi kata begitu jatuh belum saatnya ia gunakan.
Satu kenyataan yang tersembunyi masih ada. Meski begitu Salsha belum mengetahui kebenaran yang sebetulnya. Perempuan itu masih mengetahui separuh dari rahasia Iqbaal, belum seutuhnya.
Salsha membiarkan lelehan air mata itu membasahi pipinya. Tangannya terlalu kuat meremat sprei ranjang hingga kain maroon itu lusuh.
"Kenapa? Kenapa harus seperti ini!" isaknya mendramatis. Tubuhnya ditidurkan dengan posisi tengkurap membuat wajahnya tertutup lembut nan empuknya ranjang. Isakan tangisnya teredam, rupanya sifat sok tegar masih tetap melekat. Dia ingat, masih ada Aqila dikamar sebelahnya.
Sedang diluar kamar, gadis kecil yang semenjak awal melihat ada sesuatu tak biasa dengan rautan wajah Tantenya itupun memilih tuk keluar. Ia menatap pintu kamar yang tertutup, kemudian pergelangan mungil beranjak tuk membuka pintu. Sayang, pintu bewarna putih gading ini terkunci atau mungkin sengaja dikunci.
Ketika tangannya hendak mengetuk pintu, suara langkah cepat dari arah anak tangga membuat perhatiannya teralihkan. Hazelnya memandang ke arah puncak tangga dan tak lama sosok Karel dengan perempuan yang ia ketahui sahabat Salsha bernama Jeha itu langsung berjalan cepat menuju ke arahnya.
"Sha..Salsha, are you okay? Please tell me. Don't act like this," Ujar Karel sembari mengetuk pintu bewarna putih gading itu. Gerakannya begitu tak sabaran hingga membuat bunyi bising yang memekakkan.
"Salsha, kamu di dalam kan? Ayo keluar, cerita sama aku," tambah Jeha dengan gerakan ketukan yang luar biasa lebih ekstra. Aqila menatap ke arah kedua orang dewasa didepannya dengan tatapan bingung.
Memangnya sesuatu besar apa yang telah terjadi?
Sikap khawatir dan panik yang ditunjukkan oleh kedua orang ini, juga rautan wajah Salsha yang tampak berbeda ketika ia melihat di balkon tadi seolah menjelaskan sedikit clue bila ada sesuatu yang salah.
"Emangnya Tante Salsha kenapa? Kok kalian panik gitu sih?" ujarnya dengan tingkat ingin tahu yang tinggi. Bahasa gaulnya sih kepo.
Keduanya menoleh mendapati Aqila dengan tatapan polosnya, "harusnya kamu panggil dia Mama, adik kecil," tukas Jeha ketus. Rasa jengkelnya pada Iqbaal rupanya juga menyalur pada Aqila.
"Mama akutuh cuma Mama Steffi!" jawab Aqila dengan suara lantang dan tangan yang disendekapkan diatas perut. Pipi tembabnya mengerucut, dia menatap Jeha dengan sorotan tajam yang membuatnya tampak lucu karena bola matanya yang begitu besar alami tanpa softlens.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tante Salsha
Lãng mạn[ REVISI] Ini tentang jatuh cinta dan kesakitannya. Salsha pikir hidup dengan lelaki yang dicinta hanya akan mendatangkan senyum dan tawa, bahagia dan cinta. Rupanya, dawat yang ditulis tak demikian. Lagi-lagi ia harus menerima kenyataan bahwa lar...