I Am Not Important, Right? - 42

24.6K 1.1K 83
                                    

Happy Reading.

Salsha's pov.

Jarum jam yang terus berputar seiring dengan bergulirnya pagi ke malam tanpa terasa membawa manusia ke kehidupan yang disebut masa depan telah aku jalani. Tepat di hari ini, satu bulan sudah aku kembali ke negara asalku. Tanah di mana aku dilahirkan, dibesarkan, serta saksi bisu kehidupan selama dua puluh empat tahun lamanya.

Jika kalian bertanya bagaimana kehidupanku di sini selama sebulan ini maka aku tak akan segan menjawabnya secara gamblang. Tidak dapat dideskripsikan. Mungkin adalah kata yang tepat untuk menguraikan bagaimana kehidupanku yang sekarang.

Bagaimana tidak? Aku merasa heran karena berubahnya sikap orang di sini. Bukannya tidak senang, hanya saja aku merasa aneh.

Aqila yang sangat manja. Iqbaal yang begitu romantis. Mertuaku yang amat perhatian dan jangan lupa dengan sikap Bunda yang penuh kasih sayang.

Semuanya... masih belum bisa aku cerna secara baik. Perubahan drastis itu membuatku merasa... aneh?

Satu alasan kenapa aku mengatakan seperti itu adalah apakah gerangan yang membuat mereka kompak merubah sifatnya padaku? Apa sudah tersadar atau karna faktor lain? Okey, opiniku mulai terdengar kejam sekarang.

Hanya saja... Aku merasa bingung dengan keadaan yang tengah kuhadapi, seperti misalnya ketika Iqbaal...

"Sayang? Kamu taruh dasi abu-abu di mana?"

Belum juga aku mengetapkan bibir sifatnya yang hendak aku keluhi merangkak jelas di gendang telingaku. Aku meletakkan pisau, berpamit sungkan pada Ibu Evi---tukang masak, untuk menghampiri Iqbaal yang merengek bak anak kecil di ujung lantai dua.

"Memang di lemari gak ada?" tanyaku ketika sampai di anak tangga teratas.

"Kamu bantu masak lagi?" Dia melihat apron bermotif bunga yang aku kenakan, malas menjawab karna jawabannya tentu jelas dia ketahui. Aku berjalan mendahuluinya ke kamar namun tangannya mencekal pergelanganku membuatku terhenti.

"Ada apa?"

"Kamu yang kenapa?"

Aku memutar bola mata. "Katanya cari dasi. Aku buru-buru kasian Bu Evinya," kataku mencoba untuk memberi pengertian pada bayi besar ini.

Iqbaal pun mengalah dan memilih melepas tanganku. Dapat aku rasakan dia mengembuskan napas berat di tempatnya. Aku acuh dan mencoba untuk tak mengerti meski sebenarnya ketidakacuhan ini terasa aneh bagiku. Satu sifat baru yang harus aku tunjukkan pada Iqbaal, di mana sifat itu sama sekali bukan tipikalku.

Tapi mau bagaimana lagi? Ini perlu agar dia tak seenaknya menindasku. Memperbodohiku karna rasa cinta yang aku miliki. Dia perlu paham bila cinta itu bukanlah sesuatu yang patut untuk dijadikan mainan.

Dasi yang dia cari ternyata ada di deretan dasi-dasi lainnya. Sebenarnya dia mencari apasih tadi?

"Baal!" teriakku kencang mengabaikan rasa sopan yang ada.

Dia datang setelahnya dengan wajah yang... harus bagaimana aku menyebutnya? Tatapan matanya sendu. Dia masuk setelah mengunci pintu kamar. Eh? Mengunci?

"Kenapa kamu kunci pintunya?"

Dia masih diam membuat aku menaikkan sebelah alisku ke atas.

"Kamu tadi cari ap---"

"Sudah satu bulan, Salsha."

Aku mengkerutkan dahi tak paham dengan arah ke mana pembicaraannya. Dia masih menatapku sendu. Jenis tatapan yang membuatku lemah.

Tante SalshaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang