masih seperti dulu

72 5 0
                                    

Angin sepoi sepoi menerjang tubuh kami, gesekan dedaunan masih terdengar jelas di telingaku walaupun teriakan anak kecil yang saling melempar bola pada temannya terdengan begitu keras, Taman yang tak begitu luas namun cukup untuk menyegarkan nafas para pesakit yang bosan dengan suasana ruang perawatan mereka.

Permainan petak umpet itu telah berakhir, bukan aku yang menemukan Mita tapi dia yang menyerahkan diri padaku.

"Aku tidak menyangka bahwa Dika seganteng ini...." ucapnya sambil memperhatikan layar handpone ku yang ku pinjamkan padanya, jarinya mengeser layar handpone touch screenku kemudian mengomentari foto lainnya "lihat ini kalian terlihat sagat mirip...." ia menunjukkan satu foto padaku, fotoku dengan Dika, saling merangkul bahu satu sama lain dengan begroun tugu monas.

Sejak beranjak dari kantin tadi kami sepakat untuk mengobrol santai tanpa ada air mata dan isakan dari aku maupun dia.

Seharusnya aku berterimakasih pada Bima kalau bukan dia yang menyeretku ke sini mungkin aku tidak akan bertemu dengannya.

"Nih.... trimakasih...." ia menyodorkan hp padaku, ku terima dan ku masukkan kantong saku celana.

Aku harus mecari topik pembicaraan agar rasa canggung di antara kita terpecahkan.

"Lalu bagaimana keluargamu...." mugkin topik itu adalah tepat.

"Papah menikah lagi dengan perempuan keturunan jepang Indonesia..... namanya Ayana, orangnya sangat cantik dan juga baik walaupun kadang kadang aku kesal, karena sifatnya dengan sifat papah sebelas dua belas" Ternyata dia masih sama seperti yang dulu cerewet, hanya saja wajahnya yang berubah "mereka selalu over perhatian padaku.... Danu apa kau mendengarkan ceritaku...."

Apakah dia menenagkap wajahku yang sedang melamunkannya, rasanya pasti sagat malu jika dia tahu aku dari melamunkannya.

"Iya... aku mendengarkan ceritamu.... lalu kenapa kamu tidak bilang padaku kalau kamu pindah, kenapa tiba tiba menghilang begitu saja...." mungkin ini seperti introgasi seorang kekasih pada pacarnya tapi pertanyaan ini selalu saja menganggu fikiranku.

Aku memandang wajahnya dengan penuh seksama, menunggu jawaban.

"Soal itu.... sebenarnya aku ingin memberitahumu, namun.... " dia diam sesaat entah ucapan apa yang ia tahan, namun terlihat jelas ia sedang menyembunyikan sesuatu, dan aku masih diam menunggunya berbicara "namun semunya terjadi begitu saja.... seakan mimpi, saat terbangun tiba tiba sudah ada salju di luar cendela, aku bahkan berfikir bahwa perubahan iklim di jakarta sudah berubah, dan akhirnya papah datang menjelaskan semuanya padaku....."

"Apa sesuatu terjadi....?"

"Tidak ada..... hanya kami ingin susana baru, lagi pula papahku, kamu tau kan beliau, sangat susah move on...."

Benarkah, apa benar alasan yang dia buat, itu alasan atau sebuah kejujuran.

"Waktu pertama kali datang ke Jakarta aku datang ke rumahmu...." matanya tak lagi menatapku, kepalanya merunduk memperhatikan kaki kecilnya yang bermain main di atas rumput, menendang nendang rumput pelan dengan ujung sandalnya "tapi yang ku dapatkan hanyalah dedaunan kering yang berserakan di halaman rumahmu dan kabar dari tetanggamu bahwa kamu sudah pindah lima tahun yang lalu...."

"Tunggu dulu, ada satu hal lagi yang ingin ku pertanyakan.... apa wajahmu itu asli...."

Dia langsung menatapku dengan wajah kesal, sama seperti dulu waktu aku berdebat dengannya karena ibu terlalu sering mencubit pipinya, ekspresi itu masih sama.

"Jadi kau menuduhku oprasi plastik..." Nada bicara sedikit meninggi.

"Habis kau berubah terlalu drastis...." Nada bicaraku melemah, tangaku mengaruk kepala yang tidak terasa gatal "bahkan pipi cabimu menghilang..." itu kenyataan pipinya terlihat tirus.

Love in silence Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang