*Kongpob

3.2K 274 11
                                    

P'Arthit yang masih kebingungan karena mendapat ucapan terimakasih dari Mae, menatapku penuh tanya. Aku pun mengucapkan 'nanti' tanpa bersuara, dan ku lihat P'Arthit menganggukkan kepalanya tanda dia mengerti.

Mae dan P'Jane pergi membantu P'Fah untuk menyiapkan makan siang, sedangkan aku dan P'Arthit kembali bermain dengan Wan. Kami menghentikan aktifitas kami saat P'Fah datang untuk memberitahu bahwa makan siang sudah siap, dan Mae dan P'Jane sudah menungguku di meja makan. Kami pun makan sambil di selingi menjawab pertanyaan dari Mae dan P'Jane tentang P'Arthit.

Aku takut P'Arthit merasa kelelahan karena tadi berlari-lari mengejar Wan kesana kemari, karena itulah setelah makan aku meminta izin pada Mae dan P'Jane untuk beristirahat sebentar. Setelah di beri izin, aku pun memberi tanda pada P'Arthit untuk mengikutiku naik ke lantai dua, menuju kamarku berada.

"Kenapa kamu menyuruhku istirahat? Padahal aku masih ingin mengobrol dengan Mae dan P'Jane" katanya dengan kesal begitu kami masuk ke kamar tidur.

"Ao P', tadinya aku pikir kamu kelelahan karena bermain dengan Wan. Kalau memang tidak, bagaimana kalau kita melakukan ini?" tanyaku sambil menarik tubuhnya, membuat P'Arthit langsung jatuh ke pelukanku. 

P'Arthit pasti merasa terkejut dengan perbuatanku, karena awalnya dia hanya diam saat aku menciumi bibirnya perlahan. Tapi itu tak lama, karena kini dia mulai membalas ciumanku, dan sesaat kemudian ciuman kami pun menjadi lebih panas dan penuh gairah. Aku menghentikan ciuman kami saat kurasakan napasku mulai habis. Aku ingin menciumnya lagi, tapi P'Arthit malah mendorong tubuhku menjauh.

"Apa yang kamu lakukan?" tanya P'Arthit, masih terengah-engah.

"Jadi, apa pilihanmu? Tiduran sebentar atau melanjutkan yang barusan?" godaku, yang membuatnya blushing seketika.

"Atau kamu bisa menceritakan apa yang tadi kamu bicarakan dengan Mae" katanya, setelah terdiam cukup lama.

flashback

Aku pernah mengatakan pada P'Arhit bahwa keluargaku itu open minded, padahal yang ku maksud adalah kedua kakakku, bukan orangtuaku, makanya barusan aku berkata pada P'Jane untuk 'jangan menceritakan hal yang aneh-aneh'.

Setelah 'diyakinkan' oleh P'Jane bahwa dia akan membantuku untuk meyakinkan P'Arthit bahwa semuanya akan baik-baik saja, aku pun pergi menemui Mae dengan perasaan tenang. Karena aku tak melihat Mae ada di ruang keluarga, aku pun langsung pergi ke tempat favorite Mae, teras di belakang rumah. 

Aku lihat Mae sedang duduk di kursi yang ada disana, memandangi bunga-bunga yang ada di kebun. Mae langsung memberi senyuman hangat begitu aku menyapanya, tapi itu malah membuatku merasa bersalah karena sebentar lagi senyuman itu akan hilang. Mae memberi isyarat padaku untuk duduk, yang langsung ku turuti.

"Mae, kalau tujuan Mae ingin bicara berdua denganku adalah untuk memintaku berpisah P'Arthit, maka Kong minta maaf harus mengecewakan Mae, karena Kong tak akan pernah meninggalkan P'Arthit" aku berkata lebih dulusambil menundukkan kepalaku, karena...

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Mae, kalau tujuan Mae ingin bicara berdua denganku adalah untuk memintaku berpisah P'Arthit, maka Kong minta maaf harus mengecewakan Mae, karena Kong tak akan pernah meninggalkan P'Arthit" aku berkata lebih dulusambil menundukkan kepalaku, karena aku yakin tekadku pasti goyah kalau harus melihat kesedihan tergambar di wajah perempuan yang paling ku cintai ini.

"Kapan Mae bilang kalau kamu harus berpisah dengannya?" tanya Mae, yang membuatku langsung mengangkat kepalaku.

"Mae merestui hubungan Kong dengan P'Arthit?" tanyaku tak percaya, dan saat ku lihat Mae mengangguk, aku pun langsung berdiri lalu berlutut di hadapannya.

"Terimakasih!" kataku sambil memeluknya, dan kurasakan tangan Mae menepuk-nepuk punggungku.

"Tapi bagaimana bisa Mae dengan mudahnya menerima?" tanyaku dengan bingung, setelah melepas pelukanku.

"Sejujurnya Mae sempat marah saat melihat yang turun dari mobilmu adalah laki-laki, karena Mae pikir hubungan sesama jenis itu bukanlah hal yang benar, sampai -sampai Mae berniat untuk mengusir kalian" kata Mae, yang membuatku mengerutkan keningku.

"Tapi saat Mae melihat ekspresi bahagia di wajahmu yang tidak pernah Mae lihat sebelumnya, Mae seperti diingatkan bahwa apa yang menurut kami benar belum tentu membuatmu bahagia, karena itulah Mae mengurungkan niat Mae. Tapi Mae butuh waktu untuk mencerna semuanya, makanya Mae menyuruh Jane untuk menemui kalian" lanjutnya sambil mengusap-usap kepalaku, yang membuatku mataku berkaca-kaca karena terharu.

"Mae mungkin bisa cepat menerima, tapi Po-mu belum tentu sama, karena itulah Mae memanggilmu kesini. Mae ingin mengingatkanmu bahwa tak akan mudah bagimu membuat Po menerima hubungan kalian, karena kamu pun tahu sendiri seberapa besar harapan yang Po taruh padamu. Tentu saja Mae akan membantumu meyakinkannya, tapi Mae hanya ingin kamu mempersiapkan dirimu kalau hasilnya nanti tidak sesuai dengan keinginanmu" tambahnya.

"Ada lagi yang ingin kamu tanyakan?" tanyanya sambil tersenyum, lalu menghentikan gerakan tangannya yang sedang mengusap kepalaku.

Aku hanya bisa menggelengkan kepalaku, karena aku takut air mataku yang aku tahan dari tadi akan keluar, kalau aku membuka mulutku untuk menjawab. Aku tak ingin air mataku tumpah bukan karena merasa malu, tapi aku hanya tak ingin P'Arthit mengambil kesimpulan yang salah kalau melihatku seperti habis menangis.

"Kalau begitu, temani Mae menemui kekasihmu, karena Mae ingin berterimakasih padanya" kata Mae, sambil memberi isyarat padaku untuk berdiri.

"Untuk apa?" tanyaku.

"Berterimakasih karena telah membuatmu berani untuk 'menentang' kami, padahal kamu tahu kami tak akan setuju dengan pilihanmu" kata Mae.

Aku sudah membuka mulutku hendak protes, karena aku tak terima kalau Mae berpikir bahwa P'Arthit memberi pengaruh buruk padaku. Tapi aku langsungmenutupnya lagi, karena ku lihat Mae tersenyum hangat padaku, seakan memberitahuku bahwa Mae tidak berpikir seperti itu.

"Mae tidak memandang itu sebagai sesuatu yang buruk, karena itu membuktikan bahwa kamu sudah dewasa, sudah bisa mengambil keputusan sendiri, sudah bisa memilih mana yang terbaik untukmu. Itu juga menunjukkan bahwa kamu yakin dengan perasaanmu, dan bukan sedang main-main" tambah Mae, yang membuatku kembali terharu.

Tanpa mengatakan apapun lagi, Mae pergi mendahuluiku untuk menemui P'Arthit, dan aku pun segera menyusulnya. Aku sempat bingung saat tak menemukan P'Jane dan P'Arthit di ruang tamu, tapi saat kudengar suara tawa Wan dari taman depan rumah, aku langsung tahu dimana P'Arthit berada. Aku sempat panik saat aku tak melihat ada P'Arthit disana, tapi aku kembali tenang saat P'Jane berkata bahwa P'Arthit sedang ke kamar kecil.

Apaan Sih?!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang