*Kongpob

3.2K 302 24
                                    

Curcol : Aku mesti beresin kerjaan dulu sebelum libur Ied Fitri, jadi tolong maafin yah karena aku ga bales komentar kalian di chapter sebelumnya! :D  


Duduk berhadapan dengan Po di ruang kerjanya, dengan hanya meja kerja sebagai pemisah kami, membuatku teringat pada kejadian satu tahun yang lalu. 

Saat itu, aku menghadapnya karena ingin meminjam uang untuk membeli cafe tempat aku dan P'Arthit pertama kali bertemu. Aku ingat tanganku gemetar saat menyerahkan proposal yang berisi tentang data cafe, dan bagaimana prospek ke depannya kalau berinvestasi disana. 

Aku ingat bagaimana tubuhku berkeringat dingin saat menunggu tanggapan Po, karena aku takut proposalku kurang memuaskannya. Tapi ternyata proposalku di terima dengan baik oleh Po, karena tanpa bertanya apapun, Po langsung memberikan cheque sesuai jumlah yang aku minta.

Setelah kejadian itu, aku jadi berpikir kalau aku berbakat menjadi bussinessman, karena itulah aku ingin masuk ke jurusan ekonomi seperti P'Jane dan P'Pin. Saat aku mengungkapkan keinginanku itu pada kedua orangtuaku, seperti yang aku duga, Mae langsung menentangnya, karena sedari dulu beliau memang ingin aku menjadi engineer seperti Po. Tapi sepertinya aku harus berterimakasih pada Mae, karena 'paksaan' beliau lah aku bisa bertemu lagi dengan P'Arthit.

"Kamu pasti sudah bisa menebak, apa yang ingin Po bicarakan berdua denganmu, kan?!" kata Po, membuyarkan lamunanku.

"Iya. Po ingin mendengar penjelasanku tentang kenapa Po harus menyetujui hubunganku dengan P'Arthit, tapi aku tak punya alasan lain selain karena aku mencintainya" ujarku dengan tenang.

"Kamu itu baru berumur 18 tahun, masih banyak hal yang belum kamu ketahui di dunia ini. Jadi, kenapa kamu bisa begitu yakin kalau yang kamu rasakan itu cinta dan bukan hanya rasa penasaran saja?" tanya Po, sambil menatapku dengan tajam.

"Aku yakin kalau aku mencintainya, karena aku tak bisa membayangkan masa depanku tanpa ada dia didalamnya" jawabku tegas.

Suara ketukan di pintu mengalihkan perhatian kami berdua. Tanpa harus disuruh, aku pun berdiri lalu membuka pintu, dan Mae langsung masuk begitu aku membukanya. Po berpindah ke sofa, sehingga aku dan Mae pun mengikuti beliau duduk disana

"Po selama ini tak pernah mempermasalahkan jika ada orang di sekitar Po yang mencintai sesama jenis, tapi bukan berarti Po rela kalau anak Po menjadi salah satunya. Jadi, jika Po memaksamu memilih antara Po dan dia, siapa yang akan kamu pilih?" tanya Po setelah aku duduk, sambil memberikan tatapan 'jangan ikut campur' pada Mae.

"Sejujurnya kalau bisa aku tak ingin memilih, karena Po maupun P'Arthit sama-sama penting bagiku. Tapi, jika Po tetap memaksaku untuk memilih, maka dengan berat hati aku akan mengatakan kalau aku memilih P'Arthit, karena seperti yang aku bilang tadi, aku tak bisa membayangkan masa depanku tanpa ada dia didalamnya" jawabku dengan tegas

"Rupanya kamu benar-benar serius dengannya! Kalau memang seperti itu, Po akan berusaha untuk menerima hubungan kalian, walaupun itu artinya tak akan ada yang meneruskan nama Suthilack" kata Po dengan nada sedih didalamnya, dan ku lihat Mae menggenggam tangan Po untuk menguatkannya.

Melihat mereka yang seperti itu, membuatku berpikir mungkin sekarang lah saat yang tepat untuk memberitahu tentang Arun kepada mereka. Apakah aku cukup bercerita tentang Arun saja, atau menceritakan semuanya pada mereka? tanyaku dalam hati.

 Apakah aku cukup bercerita tentang Arun saja, atau menceritakan semuanya pada mereka? tanyaku dalam hati

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Jangan terlalu memikirkan kata-kata Po mu!" kata Mae marah. Awalnya aku bingung kenapa Mae marah, tapi saat Mae memeriksa jariku, aku pun jadi mengerti kalau sepertinya barusan aku melakukan kebiasaan burukku kalau sedang berpikir dengan keras, yaitu menggigit jariku. Pantas saja Mae marah, karena dulu Mae pernah melihat jariku sampai terluka karena kugigiti terus-terusan.

"Ehm... Po... Mae, ada hal penting yang ingin Kong bicarakan dengan kalian berdua" kataku setelah Mae melepaskan jariku.

"Apa?" tanya Mae dengan lembut.

"Sebenarnya... aku dan P'Arthit... sudah memiliki anak" kataku dengan hati-hati.

"Lewat adopsi atau lewat ibu pengganti?" tanya Po dengan tenang.

"Bukan keduanya" jawabku.

"Lalu, bagaimana bisa kalian memiliki anak?" tanya Mae sambil menatapku dengan bingung, dan Po pun memberikan tatapan yang sama.

Aku pun memutuskan untuk menceritakan semuanya, dari awal kami bertemu sampai kami berdua kembali bersama. Melihat reaksi mereka yang hanya diam begitu aku selesai bercerita, aku jadi berpikir kalau aku telah salah mengambil keputusan.

Tapi sepertinya mereka diam karena butuh waktu untuk mencerna semuanya, karena saat ini Mae tengah memelukku sambil mengusap rambutku dengan sayang, sedangkan Po memberikan senyum bahagianya.

"Pantas saja kamu bilang akan memilih nak Arthit, ternyata itu karena kalian sudah melewati banyak hal" kata Mae begitu melepas pelukannya.

"Kapan kami bisa bertemu dengan Arun?" tanya Po.

"Kalau untuk bertemu langsung, aku harus mebicarakannya dulu dengan P'Arthit, jadi untuk sementara Mae dan Po harus puas hanya melihat fotonya saja" kataku, lalu mengeluarkan handphone dari saku celanaku, kemudian menyerahkannya pada Mae. 

Ku lihat mata Mae mulai berkaca-kaca,sedangkan Po tersenyum dengan lebar saat mereka melihat foto Arun yang jadi wallpaper-ku. 

"Apakah ada fotonya yang lain?" tanya Mae sambil mengulurkan handphone ku. Aku pun langsung menerimanya, membuka folder yang bernama ARUN, lalu menyerahkan kembali handphone ku ke tangan Mae. Setelah puas melihat foto-foto Arun, Mae pun menyerahkan handphone ku kembali. 

Aku lalu meminta izin pada mereka untuk beristirahat, dan langsung pergi begitu mereka memberi izin. Aku berjalan dengan tergesa-gesa ke kamarku, karena aku ingin secepatnya memberitahu kabar gembira ini pada P'Arthit.

Aku sempat merasa kecewa saat melihat P'Arthit yang sudah tertidur, tapi rasa kecewa ku langsung hilang seketika, karena ku lihat P'Arthit tertidur sambil mengerutkan keningnya.

"Sekarang Po pun sudah merestui hubungan kita, jadi tak ada lagi alasan untuk kamu merasa khawatir" kataku sambil mengusapkan tanganku di keningnya.

Ku lihat kening P'Arthit tak lagi berkerut, sehingga aku pun menghentikan usapanku dan menggantinya dengan bibirku. Aku kemudian berbaring disisinya, memeluk pinggangnya, lalu memejamkan mataku sambil menyunggingkan sebuah senyum bahagia.

Apaan Sih?!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang