*Kongpob

3.5K 347 25
                                    

Aku baru melepas pelukanku, tapi tetap memegang pundaknya dengan tanganku, saat ku yakin P'Arthit sudah benar-benar tenang. Ku pandangi wajahnya lekat-lekat, dan P'Arthit malah telihat lebih cute setelah menangis, karena pipinya terlihat lebih merah merona, dan matanya terlihat lebih berbinar. 

"P'Arthit, apa sekarang aku sudah boleh bicara?" tanyaku yang dijawabnya hanya dengan anggukkan.

Aku melepaskan tanganku dari pundaknya, dan mengalihkan pandanganku ke laut, karena aku tak yakin bisa menahan diriku untuk tak menciumnya jika aku terus menerus berhadapan dengannya. Aku menghela napas dahulu, lalu aku pun mulai bicara.

"Sebenarnya, tempat kita bertemu waktu itu bukan tempatku, tapi tempat temanku, Ai'Pick. Aku meminjam tempatnya karena aku tak tahu tempat lain supaya kita bisa bertemu secara private, jadi ikat rambut yang P' lihat waktu itu adalah milik kekasih Ai'Pick. Oh ya, wanita yang P' lihat malam sebelumnya adalah kakak perempuanku yang kedua, P'Pin".

Ku tautkan jari-jariku dengannya, setelah itu baru ku lanjutkan lagi.   

"Asal P' tahu, aku tak pernah berciuman dengan orang lain sebelumnya, apalagi berhubungan sex. Jadi sejujurnya, waktu itu aku tak bisa menerima bahwa alasan aku melakukannya karena aku tertarik pada P' lebih dari teman".

Dari sudut mataku ku lihat P'Arthit tertunduk, mungkin sedang meresapi perkataanku.

"Aku bersikap tak perduli pada P' saat kita bertemu lagi, karena aku melihat P'Arthit saat aku melakukan interview disini. Tapi saat itu P'Arthit sedang memeluk P'Bright, jadi ku pikir P'Arthit sudah punya kekasih dan menganggap kejadian malam itu sebagai one night stand saja. Aku bersikap lebih baik karena tak sengaja mendengar pembicaraan P'Arthit dan P'Knot di cafe".

Ku lihat wajah P'Arthit kembali merona.

"Karena sekarang semuanya sudah jelas, maukah kamu jadi pacarku?" tanyaku.

P'Arthit melepaskan genggaman tangan kami dan hanya terdiam, yang membuatku berpikir kalau P'Arthit akan menolakku karena menganggap pernyataanku barusan terlalu cepat. Setelah lumayan lama, P'Arthit tiba-tiba menyerahkan handphone nya padaku, yang ku terima dengan penuh tanda tanya.

"Lihat wallpapernya" kata P'Arthit, yang langsung kuturuti. 

Senyumku langsung mengembang begitu melihat bahwa wallpaper P'Arthit adalah seorang anak kecil yang sedang tertawa, tapi tetap saja aku tak mengerti mengapa P'Arthit menunjukkan anak ini padaku

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Senyumku langsung mengembang begitu melihat bahwa wallpaper P'Arthit adalah seorang anak kecil yang sedang tertawa, tapi tetap saja aku tak mengerti mengapa P'Arthit menunjukkan anak ini padaku.

"Namanya Arun. Dia............. anakmu" ujar P'Arthit, yang langsung membuatku mengalihkan pandanganku padanya dan menatapnya tak mengerti.

Tentu saja aku terkejut saat mendengar penjelasan P'Arthit, karena ternyata walaupun laki-laki, P'Arthit punya rahim dan mengandung seperti perempuan. Tapi aku juga senang, karena P'Arthit memutuskan untuk mempertahankan kandungannya. 

Aku mengerti alasan P'Arthit tidak memberitahuku tentang kehamilannya, tapi tetap saja aku merasa kecewa. Aku juga sedih, karena aku tak berada di sisi P'Arthit selama mengandung, dan tak menyaksikan kelahiran buah hati kami.

"P'Arthit, bolehkah aku jadi bagian dari kalian?" tanyaku

"Kenapa harus nanya kalau udah tahu jawabannya" jawabnya sambil tersenyum.

"Buka tanganmu" kataku, yang langsung diturutinya.

Ku keluarkan gear yang tadi aku terima dari saku bajuku, dan meletakkan gear itu di tangannya.

"Kenapa kamu mengembalikan ini padaku?" tanyanya dengan bingung.

"Ao, P'Arthit tak tahu arti gear?" aku balik bertanya.

"Bukannya itu melambangkan kesatuan dari engineering?" tanyanya memastikan.

"Tadi P'Dear memberitahuku kalau gear juga punya arti yang lain, yaitu 'hati' dari mahasiswa engineering. Jadi kalau kita memberi gear pada seseorang, itu berarti kita memberi hati kita pada orang itu" jawabku, dan ku lihat pipinya merona lagi.

"Gear itu sebagai tanda bahwa aku serius ingin menjadi bagian dari hidup P'Arthit dan juga Arun, dan ku harap tak ada yang akan memisahkan kita selain maut" tambahku.

Aku lihat kali ini bukan hanya pipinya yang memerah, tapi telinga dan lehernya juga yang membuatku tak bisa menahan diriku lagi.

Ku tangkup wajahnya dengan tanganku, lalu ku dekatkan wajahku ke wajahnya. Ku lihat dia memejamkan matanya, dan aku pun melakukan hal yang sama, lalu kemudian menyatukan bibir kami. Bibirnya terasa lebih manis dari yang kuingat, sehingga yang awalnya hanya saling mengecap, berubah menjadi saling melumat.

Aku merasa tak puas, sehingga ku utus lidahku mengajak lidahnya untuk berdansa bersama. Aku bersorak dalam hati saat lidahku berhasil melaksanakan tugasnya. Akhirnya lidah kami terus berdansa diiringi alunan musik dari saliva, dan baru berhenti saat kami mulai kehabisan nafas saja.

Apaan Sih?!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang