Episode 1

45.9K 1.8K 383
                                    

Byuuuuuuur..........

"Gila lu Mus, kira-kira dong bangunin orang," celetuk Udin yang masih megap-megap terkena serangan satu ember air penuh di wajahnya.

"Bangunin manusia setengah kebo kayak lu sebenarnya satu ember belum cukup Din," jawab Mustofa.

"Slee, lu kira gue manusia jadi-jadian Mus. Orang ganteng kayak gini dibilang kebo. Mata lu udah rabun tuh."

Mustofa mendekati Udin. Meletakkan tangannya di kening Udin.

"Din, elu sehat kan ? Apa gara-gara gue siram elu jadi setres gini Din ? Otak lu udah konslet. Udah nggak bener nih."

"Gue sehat wal afiat nak. Sehat bugar gini dibilang setres."

"Sadar Din. Orang yang bilang elu ganteng cuma elu doang. Bahkan emakmu aja ogah bilang elu ganteng. Tekanan batin Din kalau bilang elu ganteng. Rumput yang bergoyang pun jika ditanya apa elu ganteng, pasti langsung kering tuh rumput."

"Aseeem lu Mus, temen tipis kayak tisu."

"Setidaknya tisu bisa menghapus air mata seseorang yang bersedih Din. Eh elu mau kuliah nggak, kita hampir telat nih. Ada hikmahnya kan tadi gue siram. Elu nggak usah mandi sama sekalian ngepel lantai kontrakan."

"Bener juga lu. Oke gas lah. Mau bareng atau motoran sendiri ?"

"Gue mah ogah boncengin makhluk astral kayak elu Din."

"Sueee lu Jhon." (Jhon adalah panggilan khusus Udin buat para sahabat-sahabatnya. Sampai sekarang tidak ada yang tahu arti panggilan itu. Masih misteri kayak misteri kenapa doi belum juga menerima cintanya dan enggak penting juga mencari arti panggilan itu. Tidak berfaedah dan bermanfaat bagi kelangsungan hidup manusia.)

Mereka pun berangkat dengan motor sendiri-sendiri. Udin dan Mustofa kuliah di salah satu universitas negeri terkenal di Solo. Saat ini mereka mengambil program studi Agribisnis di Fakultas Pertanian. Kalau Mustofa sih wajar-wajar saja jika dia dapat masuk di perguruan tinggi negeri. Dia lulusan terbaik di SMA dengan nilai ujian nasional terbaik ke-tiga se-kabupaten. Kalau Udin beda cerita. Lulus udah Alhamdulillah. Hari pertama ujian dia telat 45 menit. Ujian matematika dikerjain cuma pake kocokan kayak arisan. Apalagi saat seleksi penerimaan mahasiswa baru. Ilmu kira-kira dia terapkan. Dia mengerjakan menurut instingnya. Atau mungkin panitia seleksi terpana saat melihat wajahnya dan langsung meloloskannya. Hanya rumput yang bergoyang yang tahu jawabannya. Saat ini mereka sudah semester 4. Mahasiswa semester tengah yang masih setengah matang.

Dengan motor jadul Hond*Astre* Udin melaju dengan kencang layaknya Valentino Rossi. Sepatu Convers*, celana jean*, baju oblong dibalut kemeja yang tidak dikancingkan dan tas slempang menjadi fashion favorit Udin. Sebenarnya bukan favorit, hanya saja Udin cuma punya satu baju itu buat kuliah. Itu saja tiap hari dicuci abis selesai dipakai lalu besoknya lagi dipakai buat kuliah. Udin sebenarnya anak orang kaya. Bapaknya pengusaha properti terkenal di daerahnya. Hanya saja Udin memang berpenampilan seperti itu. Dia paling tidak suka menunjukkan kekayaan dia. Hal itu menurutnya malah menjauhkannya dari teman dan sahabatnya. Tampil apa adanya dan cenderung urakan adalah ciri khas Udin.

Keduanya sampai di kampus hampir bersamaan. Udin melepas helm batoknya. Dia mengibas-kibaskan rambutnya kayak bintang iklan sampo. Kacamata hitam masih terpasang di depan matanya. Masker masih melekat di mulutnya. Sarung tangan dia lepas satu per satu. Dia turun dari motor layaknya orang yang lagi touring. Padahal jarak kampus dan kontrakannya tidak sampai se-kilo meter. Udin berjalan bak artis terkenal yang akan menjumpai fansnya. Namun satu kesalahan fatal dia pagi ini, dia tidak melepas kacamata hitamnya. Bayangkan saja, tubuh hitam legam, gigi kuning, ditambah kacamata hitam semakin memantapkan dirinya kalau dia adalah makhluk astral. Padahal matanya adalah satu-satunya harapan dia terlihat oleh orang lain karena ada warna putih. Udin masih berjalan dengan keren menuju ruang kuliah. Sedangkan Mustofa masih berdiri di parkiran.

Catatan Kuliah Si UdinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang