Episode 28

4.1K 351 62
                                    

Malam semakin larut. Angin semakin kejam menusuk pori-pori kulit. Suasana mencekam seperti malam sebelumnya selalu menghiasi setiap gelap. Namun, keadaan berbeda terjadi di rumah yang menjadi tempat Udin dan lainnya istirahat. Kehangatan dan senyum menghiasi setiap detik mereka bercengkrama. Tidak ada satupun memasang wajah bersedih atau murung. Mustofa dan Putri yang sudah menyelesaikan pekerjaan di dapur langsung bergabung dengan yang lainnya bermain kartu UNO. Entah berapa kali Unin harus kalah dan berapa banyak bedak yang mencoreng wajahnya. Bisa dimaklumi kalau Unin kalah karena dia belum mengerti aturan bearmain kartu tersebut. Jam menunjukkan waktu tengah malam. Satu per satu dari mereka terlelap dalam tidurnya. Tersisa Udin, Mustofa, dan Putri.

"Put, elu nggak ikutan yang lain tidur ? Sudah malem lho. Apalagi seharian elu udah banyak kegiatan, pasti capek," kata Udin.

Putri hanya terdiam. Sesekali dia melihat kearah Mustofa, tetapi Mustofa tidak sadar akan hal itu.

"Emm, belum ngantuk Din. Nanti saja," jawab Putri dengan sekuat tenaga menahan ngantuknya.

Udin hanya mengiyakan jawaban itu. Dia tahu keadaan Putri dari wajah Putri yang terlihat sayu. Dia sadar jawaban itu hanya bohong. Matanya tidak menggambarkan keadaan yang seperti itu.

"Mus, itu Putri disuruh tidur dulu. Elu nggak kasian ?" kata Udin asal ngomong.

Hal itu membuat Mustofa maupun Putri kaget. Seakan Udin tahu apa yang sedang dilakukan mereka dibelakang teman-teman lainnya.

"Yaudah Put, tidur sana. Sudah malam nggak baik anak cewek harus terjaga."

Putri hanya mengangguk dan melangkahkan kaki ke kamar. Dia hanya menuruti hukuman yang telah disepakati sebelumnya. Walaupun sebenarnya Putri sudah ngantuk sejak selesai beres dapur tadi, tapi dia tidak berani tidur sebelum Mustofa menyuruhnya.

Malam itu tersisa Mustofa dan Udin yang masih terjaga. Mereka mengunci pintu dan duduk di teras rumah setelah sebelumnya membuat kopi untuk beberapa orang. Biasanya banyak pemuda yang mampir ke rumah itu saat malam hari. Sambil menunggu mereka datang, Udin dan Mustofa bercengkrama seperti yang sering mereka lakukan saat di kontrakan.

"Besok jangan lupa rapat lho Mus di kelompok sebelah. Hanya koordinator desa yang dateng. Jam 3 sore setelah sholat Ashar".

"Iya iya Din. Gue nggak pikun," jawab Mustofa dengan nada sedikit tinggi.

"Ealah ni anak ngegas," Udin tertrigger.

"Siapa yang ngegas Din ? Elunya aja yang baper."

"Ah bodo amat lah Mus. Debat sama elu nguras tenaga aja."

"Ya makanya jangan ngajak debat."

"Iya deh iyaaa. Eh tapi, elu sama Putri ada apa sih ? Seharian lengket banget kayak gue sama kasur."

"Haha, perumpamaan elu itu lho. Emmm, nggak ada apa-apa Din. Biasa aja kayak kemarin-kemarin."

"Ah yang bener ? Gue belum pernah lihat elu bisa sedeket itu sama cewek ? Elu kan phobia sama cewek."

"Sue lu Din. Walau kayak gini gue masih normal."

"Apa jangan-jangan elu suka sama Putri ?"

"Ya nggak lah Din. Asal aja elu. Putri itu sudah jadi teman yang baik buat gue. Ya kayak elu tapi versi cewek."

"Tapi inget Mus. Elu nggak bisa memperlakukan teman cewek sama saat elu memperlakukan teman cowok. Itu dua hal yang sangat berbeda," kata Udin mulai serius dan Mustofa juga serius mendengarkannya.

Catatan Kuliah Si UdinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang