Episode 31

3.5K 334 48
                                    

Lamat-lamat dan buram pandangannya. Semakin jelas dan menampakkan bentuknya. Dia melihat langit-langit yang memancarkan putihnya. Lampu itu membuat matanya lebih sipit. Bertahan dari kuatnya sinar yang dipancarkan. Putri menggerakkan kepalanya. Melihat sekeliling untuk mencoba memahami situasinya sekarang. Terlihat ibunya terbaring tidur menyandarkan kepala di kasur tempatnya berbaring. Di samping ibu Putri, terlihat Unin tertidur lebih pulas dari ibunya. Pandangannya mencoba mengitari ruangan itu lebih luas. Semua teman KKN-nya berada di ruangan yang sama. Putri sekuat tenaga bangun dari tidur panjangnya. Ingatannya masih bisa menggambarkan dengan jelas kejadian tadi siang. Tangannya pun masih berbekas tali yang cukup kuat mengekangnya.

"Putri," panggil Widya setelah tahu Putri sudah siuman.

Widya langsung menghampiri Putri dan membantunya duduk. Dia langsung keluar dan memberitahu Udin yang sedang ngobrol serius dengan pak kepala desa, bapaknya Putri, dan pak Polisi yang merupakan kenalan pak kades. Keduanya memasuki ruangan itu. Suasana gaduh membuat seisi ruangan yang sebelumnya tertidur akhirnya terjaga. Mustofa, Mahmud, Uji, dan Bopila yang sedang makan di warung dekat rumah sakit bergegas menuju ke ruangan tempat Putri dirawat.

"Putri ? Jangan banyak bergerak dulu. Badanmu masih demam. Berbaring lagi sini," kata ibunya lembut penuh perhatian.

"Iya mbak Putri berbaring dulu. Laper ya mbak ? Sini Unin suapin," kata Unin sambil memberikan sendok demi sendok makanan ke mulut Putri.

"Mbak Putri masih pusing ?" imbuh Unin.

Putri hanya menggelengkan kepala. Mulutnya masih penuh dengan makanan yang dengan telaten disuapkan oleh Unin. Terlihat Udin berbisik cukup serius. Berbeda dari Udin yang biasanya hanya membual. Setelah menunggu beberapa menit sampai Putri sadar sepenuhnya, akhirnya pak Polisi yang bersama Udin mendekati Putri.

"Mbak Putri, kami hanya ingin meminta beberapa keterangan. Kita ngobrol seperti biasa saja ya. Jangan tegang dan jawab apa adanya," kata pak Polisi tersebut dengan pelan-pelan.

"Baik pak."

"Pertama, jam berapa pencuri itu datang ke rumah ?"

"Sekitar jam setengah sebelas pak. Saat itu kebetulan saya memegang ponsel."

"Oke. Kedua, ada berapa orang yang datang ?"

"Hanya dua pak."

"Kalau boleh tahu, ciri-ciri mereka seperti apa ?"

"Saya tidak tahu persis pak. Mereka memakai topeng. Tetapi yang saya ingat, dua orang itu punya tinggi yang berbeda. Orang yang tinggi itu memakai baju biru tanpa lengan dengan celana jeans. Di lengan kirinya ada tato bergambar bunga. Sepertinya bunga mawar. Orang satunya lebih pendek dengan rambut panjang ikal. Punya bekas luka di mata kirinya pak."

"Terima kasih mbak Putri. Informasi ini cukup membantu penyeledikan kami. Beberapa hari kedepan, mungkin mbak Putri akan direpotkan berbagai urusan dengan kami. Kami juga berusaha segera menuntaskan kasus ini."

Pak Polisi ditemani pak kades berjalan keluar lalu diikuti oleh Udin.

"Pak, sepertinya aku tahu betul siapa mereka. Salah satu ciri-ciri itu hampir sama dengan salah satu warga saya yang baru saja keluar dari penjara. Tetapi laki-laki yang satunya saya belum pernah melihat."

"Mana yang bapak maksud ? Yang bertato atau yang mempunyai bekas luka ?"

"Yang mempunyai bekas luka di matanya pak."

"Baiklah. Setelah ini kami butuh informasi lebih detail dari bapak. Ini kemajuan yang luar biasa. Kita hanya perlu membuktikannya."

Waktu berlalu dengan cepat. Hari segera berganti. Putri menghabiskan malamnya di rumah sakit. Besok lusa dia sudah bisa dibawa pulang. Udin dan teman satu kelompok kecuali Unin kembali ke posko untuk melihat barang apa saja yang hilang. Raut wajah Udin terlihat tegang. Seperti ada sesuatu yang sangat mengganggu pikirannya. Udin mengeluarkan ponsel dari sakunya dan menelpon seseorang. Pagi buta ada sebuah mobil terparkir di halaman rumah itu. Padahal waktu masih menunjukkan jam 3 pagi. Udin berjalan mengendap-endap keluar.

Catatan Kuliah Si UdinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang