Tujuh bulan kemudian...
Ramai suasana kampus di pagi hari. Satu per satu mahasiswa berdatangan dengan berbagai guratan ekspresi. Ada yang begitu sumringah, mungkin akan bertemu si doi. Ada yang kusut dengan rambut acak-acakan, mungkin semalam begadang menyelesaikan tugas. Ada yang datar-datar saja, mungkin sudah lelah dengan rutinitas yang dijalani. Mustofa duduk di pinggiran lapangan basket memperhatikan mahasiswa yang berlalu-lalang. Semester lima dilalui begitu saja. Begitu membosankan sampai-sampai yang ada hanya kuliah dan pulang. Semester lima berbeda dengan semester empat yang penuh dengan hal-hal di luar rutinitasnya sebagai mahasiswa. Seketika Aisyah lewat dan tanpa sengaja bertatapan dengan Mustofa yang masih memperhatikan mahasiswa yang berlalu-lalang. Setelah melihat Aisyah, kebencian Mustofa pada perempuan kembali muncul. Dia langsung bangkit dari tempat duduknya dan pergi begitu saja.
"Mus, Mustofa !" Teriak Aisyah.
Mustofa tetap melanjutkan langkahnya. Tidak mempedulikan suara lembut yang memanggilnya. Aisyah tidak mau menyerah. Dia berlari mengejar Mustofa. Setelah dekat, dia langsung menarik baju Mustofa.
"Mus, dengerin aku dulu," kata Aisyah sedikit gemetar.
Mustofa hanya diam dan tertunduk.
"Dengarkan aku dulu Mus. Aku nggak bermaksud melakukan ini semua," lanjut Aisyah.
Mustofa yang terdiam cukup lama akhirnya berbicara.
"Aku tidak kenal kamu. Jangan ganggu aku," kata Mustofa pelan dan datar.
Seketika Aisyah berhenti menarik baju Mustofa. Mata berkaca-kaca dan air mata itu tak terbendung lagi.
"Semua ini salahmu," kata Mustofa yang berlalu sambil menatap Aisyah dengan tatapan yang tajam.
Semua ini terjadi sekitar enam bulan yang lalu
***
"Wah-wah, yang mau ngelamar rapi amat. Ini mukanya nggak bisa di permak ya Din," kata Uji.
"Lu kira gue pakaian yang kedodoran, muka ganteng maksimal gini nggak butuh di dandanin lagi," kata Udin santai sambil merapikan rambut di depan cermin.
"Seraaaaah, bebas mah kalau orang yang mau nikah gini. Gue iri sama elu Din, bisa-bisanya dapat Aisyah yang kalem kayak gitu," kata Uji.
"Ya kan gue ganteng Ji, haha," kata Udin yang membuat Uji jengkel.
"Untung elu mau lamaran, coba aja kalau di kontrakan udah 10 jitakan mendarat di kepala elu biar bisa mikir bener," kata Uji menahan emosinya.
Satu rombongan keluarga besar Udin berangkat pagi itu. Ada dua mobil, mobil pertama diisi oleh Udin dan sekeluarganya dan mobil kedua diisi Mustofa dan lainnya. kebetulan pak Ridwan yang mengendarai mobil kedua, jadi Mustofa bisa berbincang-bincang dengannya.
"Nyonya sudah seneng banget hari ini. Padahal beliau baru pertama kali ketemu sama non Aisyah. Sudah terpincut sama kepribadian Aisyah," kata Pak Ridwan.
"Wah sudah dipanggil non Aisyah ini pak," kata Mustofa.
"Saya mah yakin den Udin pasti diterima lamarannya. Siapa sih yang mau menolak lamaran dari den Udin. Kepribadian den Udin itu pasti disukai semua orang. Bahkan dengan wajah sedikit menyeramkan, kepribadiannya bisa lembut seperti itu. Kami yang kerja di rumahnya saja selalu dibuat nyaman. Tuan dan nyonya juga baik banget. Itulah mengapa sampai sekarang pekerja baik di rumah maupun di usaha beliau pasti betah. Saat kami gajian per bulan pun pasti diundang ke rumah dan ada penjamuan makan untuk kami yang pekerja ini," cerita pak Ridwan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Catatan Kuliah Si Udin
HumorSudah tamat Sisi lain keseharian si Udin selama kuliah yang tidak lumrah dan sebenarnya tidak berfaedah untuk dibaca. Namun perjuangan mencari cinta lah yang menjadikannya seorang mahasiswa "luar biasa".