"Bara yang memintaku, Feb." ujar Rendra.
Bianca berhenti. Baru saja, ia ingin meminta ibunya kembali ke kamar rawat ayahnya, karena ia ingin pulang untuk belajar mempersiapkan ulangan besok. Ibunya dan Om Rendra tengah berbincang di taman rumah sakit. Keduanya duduk berdampingan di bangku panjang, membelakangi Bianca.
"Bara memaksaku untuk mencari donor ginjal untuk Faris. Jika tidak, dia akan mendonorkan ginjalnya sendiri."
"Kamu tahu, bahwa donor ginjal tidak semudah itu, Ren." sahut Febia. "Kalaupun Bara nekat, dokter tidak akan membiarkannya. Apalagi jika ginjalnya tidak cocok."
"Aku tahu, Feb. Tapi diam-diam, Bara memeriksakan dirinya. Dan ginjalnya cocok." jawab Rendra semakin lirih.
Bianca menutup mulutnya untuk menahan suara apapun yang akan menghentikan perbincangan itu.
"Ya Tuhan. Jangan biarkan Bara, Ren. Kalian sudah terlalu banyak membantu kami. Dia masih terlalu muda. Bahkan Bianca,... Ya Tuhan." Febia tak kuasa lagi menahan tangisnya.
"Hei, tenang, Feb. Bukan Bara yang akan jadi pendonor untuk Faris."
Febia menatap Rendra tanpa suara.
"Aku membuat semacam sayembara. Aku tidak yakin, tapi ini terdengar seperti aku yang tengah membeli ginjal orang lain untuk Faris. Dari sepuluh orang yang menawarkan diri, hanya dua orang yang cocok. Dokter tengah memilah kondisi ginjal terbaik yang bisa didonorkan."
Febia mengernyit, tangisnya telah berhenti. "Itu ilegal, Ren."
Bianca menyetujui pendapat ibunya dalam hati.
"Aku sudah berkonsultasi dengan dokter dan pengacaraku. Semua akan baik-baik saja selama kita punya surat pernyataan dari pendonor."
Febia mengernyit. "Aku rasa ini tidak manusiawi, Ren. Aku yakin, Faris tidak akan setuju."
"Ini kulakukan demi Bara dan Bianca, Feb. Bara ingin kurang dari satu bulan ini, Faris bisa mendapat ginjal dan kembali hidup normal."
Bianca tidak lagi mendengar apapun. Sejak awal, Bara yang mendesak Om Rendra untuk memburu pendonor ginjal yang butuh uang. Bara ingin ayah Bianca cepat sembuh. Bahkan Bara rela mengorbankan salah satu ginjalnya.
Kebahagiaanya. Rasa syukurnya. Harapannya. Semua karena paksaan Bara pada Om Rendra, seorang ayah yang selalu menuruti putra kesayangannya.
Bianca mundur perlahan, berusaha tanpa suara. Ia tidak menangis, walaupun ia butuh tangis untuk meluapkan perasaan aneh di hatinya.
Kesepakatan itu,...
Tentu saja. Sebuah pemikiran menyadarkannya. Bara ingin ayah Bianca sehat. Karena kesepakatan mereka.
Pemikiran itu membuatnya langsung menyentuh layar ponselnya. Mengecek panggilan masuk terakhir. Melihat jejeran nomor asing yang paling banyak terdaftar di list teratas. Setelah menyentuh nomor tersebut dengan telunjuknya yang kini bergetar hebat, ia menempelkan ponselnya ke telinga kiri. Langkahnya semakin cepat menuju lobi rumah sakit, berharap ada taksi kosong yang siap mengantarnya.
"Halo, Bar? Di mana? Kirim alamatnya. Aku langsung nyusul sekarang."
KAMU SEDANG MEMBACA
Loving You, Hurting Me
RomansaDua hati yang saling mendamba Dua raga yang sulit bersama