Hello and Goodbye

430 33 1
                                    

Saat ini,...

Petra benar-benar menepati janjinya sebagai wali untuk Bianca. Petra membantu segala proses administrasi kampus dan sekolah Bianca, sehingga Bianca tidak perlu sering-sering ke sekolah. Petra juga memberikan sejumlah buku tebal untuk Bianca.

"Calon dokter harus banyak baca dulu, sebelum praktek. Ini hadiah kelulusan kamu dari Om. Gak banyak, sih. Nanti kamu akan butuh lebih banyak buku setelah benar-benar mulai kuliah. Kamu tinggal bilang Om, kalau kesulitan nyari buku. Om tahu, kamu akan jadi dokter cantik yang jenius."

Bianca hanya tersenyum dan berulang kali mengucapkan terima kasih. Sejumlah buku yang dimaksud Petra adalah tiga kardus sedang berisi buku-buku tebal tentang kedokteran.

Bianca tengah membaca salah satu buku tentang anatomi tubuh manusia saat Febia, ibunya, memanggil namanya dari ruang tamu.

"Iya, Bunda?" tanya Bianca. Febia terlihat berjalan menuju dapur saat Bianca keluar kamar.

"Ada Bara di depan. Samperin, gih."

Bianca mematung. "Eh?" Hanya itu yang mampu mewakili apapun pertanyaannya.

"Iya. Baru tadi pagi Rendra datang ke sini. Ternyata perusahaan percetakannya sempat kena masalah. Gara-gara ada penulisnya yang plagiat. Makanya Rendra gak muncul sejak Ayah meninggal."

"Eh?" Bianca lebih terkejut lagi mendengar kabar itu. Pantas saja Om Rendra tidak pernah terlihat datang lagi sejak pemakaman ayahnya. Padahal Bianca jelas ingat kata-kata Rendra yang akan tetap ada untuk Bianca dan Febia.

"Iya, Bi. Pas banget kita kena musibahnya barengan. Mamanya Bara malah sempat kena serangan jantung saking kagetnya."

Bianca tidak lagi menanggapi ibunya. Tatapannya kosong menatap tangan lincah ibunya yang menyeduh teh di pantri dapur.

Bara,...

"Kok bengong, sih, Bi? Temenin Bara sana." Tersentak, Bianca meringis malu. "Ini, sekalian bawa teh sama kue buat Bara."

Bianca menurut. Mengambil alih nampan, Bianca melangkah pelan menuju teras depan rumahnya. Setiap langkahnya diiringi dengan debaran jantungnya yang semakin keras. Angin malam berhembus dari pintu rumahnya yang terbuka lebar seolah menyambutnya.

Bara tengah duduk santai sambil melihat sekitar. Rumah kecil Bianca ini tidak terlihat kumuh. Beberapa tanaman hias di halaman rumahnya membuat rumah ini terlihat asri, walau hanya rumah kecil dengan model sederhana.

Bara menoleh saat menyadari seseorang keluar dari pintu rumah. Debaran jantungnya menggila seketika. Sosok jutek yang begitu ia rindukan kini tengah berdiri menatapnya sedih.

Saat melihat Bara, Bianca langsung menghitung kapan terakhir Bianca melihat Bara. Dua bulan lalu saat UN? Atau satu bulan lalu saat acara perpisahan? Atau beberapa hari yang lalu saat Bara memanggilnya di koridor sekolah?

Bianca meletakkan nampan di atas meja kecil yang terletak di antara dua kursi kayu tempat Bara dan Bianca duduk. Keduanya terdiam. Keduanya bahkan melarikan pandangan kemanapun asal tidak pada sosok di sampingnya. Sesekali, mereka saling lirik namun cepat-cepat membuang pandangan, takut ketahuan.

Kenapa kamu kurusan, Bar? 

Kamu bahagia, Bi, tanpa aku?

"Diminum, Bar."

Suara Bianca memecah keheningan tersebut. Bara langsung menatap Bianca dan secangkir teh di atas nampan bergantian.

"Hmm, oke." sahut Bara salah tingkah.

Menyeruput tehnya, Bara kembali memperhatikan sekitar rumah Bianca.

Bianca yang menyadari itu, langsung berdeham. "Yah, gini lah, kehidupanku sekarang."

Loving You, Hurting MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang