Lagi?

394 34 0
                                    

"Bi, kata dokter gimana?" tanya Bara, sesaat setelah keluar kamar mandi.

Bianca tersenyum tipis, "Aku udah boleh pulang nanti sore."

Bianca mengangkat tangan kirinya. "Lihat, infus-nya udah lepas."

Bara sumringah. "Akhirnya. Bianca-ku bisa pulang."

Bianca tidak menjawab, hanya menatap Bara dengan tatapan teduh. Ia tidak seceria gadis lain yang mudah tersenyum atau tertawa. Bianca bahkan tidak ingat kapan terakhir kali bisa tertawa.

Bara yang menyadari itu, merangkum wajah Bianca dengan kedua tangannya. "Sombong banget, sih, sayang?"

Bianca mengangkat salah satu alisnya heran. Rasanya aneh mendengar panggilan 'sayang' yang diutarakan Bara.

Bara menekan lembut kedua ibu jarinya di sudut-sudut bibir Bianca. Lalu sedikit mengangkat ibu jarinya sehingga bibir Bianca melengkung layaknya seseorang yang tersenyum lebar.

"Tahan!" perintah Bara dengan tatapan penuh peringatan, sebelum melepas jarinya dari wajah Bianca.

Bianca menurut walaupun masih menatap Bara dengan tatapan aneh.

"Aku gak pernah bisa menebak apa yang tengah kamu rasakan. Jadi beri aku tanda. Kalau kamu bahagia, pasang senyum selebar ini. Supaya aku tahu, kalau aku udah melakukannya dengan benar."

Bianca menurunkan kedua sudut bibirnya. Kedua matanya menggenang tanpa aba-aba. Bara terkesiap lantas kembali merangkum wajah Bianca.

"Kok nangis, sih? Gak suka senyum, ya? Yaudah, nanti kita pikirin lagi cara lain. Tapi kamu jangan nangis. Maaf."

Dengan air mata yang mengalir dan membasahi pipinya, Bianca justru terkekeh.

Bara menatap Bianca heran. "Lah? Kok ketawa?"

Bianca menghapus jejak basah pada pipi dan matanya. "Ekspresi kamu lucu."

Bara tersenyum miring. "Padahal tadi aku ajarin kamu senyum, tapi aku malah dikasih ketawa kamu."

Bianca terdiam menatap Bara. Dengan senyum tipis yang nyaris tidak terlihat.

"Tetep gini, ya, Bi? Tetap sama aku. Senyum pelit kamu ini juga cuma boleh buat aku. Ketawa kamu juga cuma di depanku."

Bianca mengangguk kehabisan kata-kata.

"Jangan pergi lagi."

Bianca menggeleng cepat. Seolah yakin bahwa ia telah menemukan rumah yang tepat untuknya pulang. Yakin bahwa ia tidak akan pergi menjauh lagi.

Bara menatap Bianca lembut. "Cantik."

Bianca memerah. Hal yang ajaib untuk pengidap anemia sepertinya.

"Wah, aku bisa khilaf lama-lama." desah Bara. Ia mengusap rambut Bianca. "Aku harus pergi sekarang. Bisa bahaya kalau dekat-dekat kamu sekarang."

Saat Bara bangkit, Bianca mendadak merasa kehilangan. Padahal Bara hanya menjauh untuk mengambil jaket yang tergeletak di sofa. Bara bahkan masih terlihat wujudnya.

"Ke mana?" tanya Bianca lemah.

"Sebentar, aja. Janji, deh, nanti siang abis Zhuhur aku balik buat beres-beres barang kamu."

Bianca mengangguk enggan.

Bara tersenyum. "Aku janji akan segera balik. Cuma ngurusin pernikahan doang, kok. Oiya, sekarang aku sambil ngurusin administrasi di bawah, ya."

Bianca tidak benar-benar memperhatikan kata-kata Bara sejak kata 'pernikahan' terlontar'. Ia hanya mengangguk lemah, tidak menolak tangan Bara yang mengacak rambutnya sebelum benar-benar keluar kamar inapnya.

Bianca menyembunyikan wajahnya ke dalam lipatan kedua lengannya. Kakinya terlipat, membantu kepalanya bersandar pasrah. Bianca menangis kalah.

Bara akan menikah.

Lalu ini apa?

Semua ini untuk apa?

Persetan dengan janji atau sumpah, aku harus pergi, Bar.

Apalah arti sumpah di depan orang yang telah lama mati, dibandingkan dengan sumpah setia di hadapan Tuhan?

Loving You, Hurting MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang