Sepuluh menit berlalu dalam keheningan. Terlalu hening, hingga Bianca merasa suara detak jantungnya terdengar terlalu nyaring di seluruh penjuru ruangan. Bianca tak sendiri. Sejak ia terbangun tadi, Bara sudah ada bersamanya. Kontak yang mereka lakukan hanya tawaran minum dari Bara, yang dijawab Bianca dengan anggukan. Setelah meneguk air mineral yang diberikan Bara, Bianca kembali berbaring nyalang. Sesekali ia melirik Bara yang terlihat serius menatap layar ponselnya.
"Kamu gak tidur lagi?" tanya Bara terlalu tiba-tiba, sehingga Bianca terlihat sedikit terlonjak.
Bianca sedikit menoleh ke arah Bara. Tanpa ia sadari, ia memainkan jemarinya salah tingkah. "Hm."
"Ranjangnya mau ditegakkan?" tanya Bara lagi.
Bianca sedikit bergeming. "Boleh."
Bara pun beranjak, meninggalkan ponselnya. Setelah mengatur posisi duduk Bianca, Bara bertanya lagi, "Segini cukup?"
Bianca mengangguk dua kali tanpa suara. Wajahnya tertunduk malu, dengan jemari yang masih terpilin.
Bara menyadari itu dan tersenyum tipis. "Bi?"
Bianca menoleh kaku. "Ya?"
Bara masih berdiri dengan kedua tangan menekan ranjang Bianca, menopang tubuhnya.
"Ayo kita mulai dari awal."
Bianca menatap Bara dengan mata membulat. "Huh?"
Salah satu tangan Bara menggapai sejumput rambut Bianca yang terlihat berantakan. "Kita memulai semuanya dengan cara yang salah."
Bianca mengalihkan pandangan.
"Perkenalkan, aku Bara."
Bianca tak dapat menahan senyum. Ia sedikit mengulum bibirnya agar tidak terlihat konyol. Bianca kembali menatap Bara yang kini tengah mengulurkan tangan untuk segera dijabat.
Bianca berdeham singkat saat tangan mereka akhirnya saling bertaut. "Bianca."
"Kita pernah bertemu sebelumnya."
Bianca menahan tawa. "Oh, ya?"
Bara mengangguk. "Di halte bus. Waktu itu kamu jutek banget."
Bianca tertawa tertahan. Bianca tidak ingat kapan terakhir kali ia tertawa sehingga wajahnya terasa kaku. "Itu karena kamu ngeselin."
Bara tersenyum lebar. Hatinya menghangat melihat Ratu Es-nya terkekeh. "Dan kamu cantik. Selalu."
Bianca terpaku sejenak. "Maaf."
"Untuk?"
"Semuanya." Bianca menelan isak tangisnya yang tiba-tiba muncul.
"Sst." Bara menopang salah satu pipi Bianca dengan salah satu telapak tangannya. "Aku yang harus minta maaf. Karena sejak dulu gak pernah bersikap dewasa."
Melihat kedua mata Bianca yang mulai berkaca-kaca, Bara melotot dengan ekspresi lucu. "Hei, kita baru masuk tahap perkenalan aja, kamu uda mewek gini. Apalagi kalau udah masuk tahap nembak dan ngelamar."
Bianca tertawa dengan air mata mulai deras. "Oiya? Kita perlu mengulang bagian itu juga?"
Bara nyengir. "Atau kita langsung nikah, aja?"
Bianca tersenyum geli.
Bara membalas dengan senyum penuh arti. Tangannya merogoh saku jaketnya dan mengeluarkan kotak hitam seukuran genggaman tangannya.
Bianca melotot kaget. "Bar?"
Bara tertawa melihat ekspresi Bianca yang terlihat menggemaskan. "Please, menikah denganku." Kotak hitam itu terbuka dan menampakkan isinya. Sepasang cincin dengan ukiran inisial "B".
Melihat Bianca yang terdiam bingung, Bara mulai khawatir akan kembali ditolak. "Bi? Apa aku membuatmu takut lagi?"
Bianca menggeleng. Tatapannya belum lepas dari kedua cincin yang terlihat bersinar di matanya. "Aku hanya,... Ini.. Apa aku pantas? Setelah membuatmu terluka berkali-kali?"
Bara terdiam. Salah satu tangan Bianca ia genggam. "Apa yang kamu rasakan setiap kali berpaling dariku, Bi?"
Isak tangis Bianca makin menjadi. Namun, Bianca tetap berusaha mengumpulkan suaranya. Bianca menyentuh dadanya dengan tangannya yang bebas. "Di sini, rasanya perih. Menangis pun gak bisa membuat sakitnya reda."
"Kalau begitu, kita impas. Karena aku juga merasakan hal yang sama."
Bianca mengangkat wajah untuk menatap Bara dengan matanya yang basah.
"Kita sudah terlalu lama saling menyakiti, Bi. Sekarang, sudah saatnya kita saling membahagiakan."
Bianca mengangguk dengan senyum haru. "Ayo menikah."
Kali ini, keduanya saling menatap dengan kelegaan di hati mereka. Keduanya tahu, mereka tidak pernah salah melabuhkan hati.
Tiba-tiba Bara mengernyit. "Hm, Bi?"
Menyadari ada yang salah, Bianca mulai merasa was was. "Ya?"
"Haruskah kita membuat perjanjian lagi?"
Bianca melotot galak. "Maksud kamu?"
Bara tergelak melihat wajah jutek Bianca yang ternyata ia rindukan.
Setelah tawanya mereda, Bara mengamati Bianca yang kini menatapnya garang.
"Maaf, aku gak bermaksud mengulangi perjanjian konyol kita dulu."
Bianca merengut, menunggu kelanjutan penjelasan Bara.
"Tapi Bi, setelah apa yang kita alami selama bertahun-tahun, aku sadar bahwa cinta saja gak akan cukup untuk membuat kita bertahan bersama."
Bianca menatap Bara serius. Menunggu.
"Sekian lama, kita saling mencintai, tapi sulit sekali untuk bersama. Di masa yang akan datang, kita mungkin akan mengalami banyak situasi yang lebih sulit untuk menguji ketahanan ikatan kita."
Bianca terdiam. Ia tahu bahwa Bara belum selesai.
"Jadi, Bi. Tolong berjanjilah. Apapun yang kamu rasakan, baik itu suka atau duka, senang atau marah, tolong ungkapkan semua padaku. Apapun yang kamu pikirkan, bagilah denganku. Aku tahu ini akan sulit bagimu yang selalu memikirkan semuanya sendiri. Tapi aku ingin mendapatkan kesempatan untuk menyimak keluh kesahmu. Aku yakin, selama komunikasi kita baik, semuanya akan terasa lebih mudah."
Bianca tersenyum kagum.
"Bi? Kok diem, aja, sih?"
Bianca tertawa geli. "Aku hanya gak nyangka, ternyata kamu sebawel ini."
Bara cemberut. "Itu karena aku sayang. Jadi, kalau kamu juga sayang, ceritakan semua isi kepala cantikmu itu. Deal?"
Bianca tertawa renyah. Sesekali ia mengusap sisa air mata di sudut matanya. "Deal!"
***

KAMU SEDANG MEMBACA
Loving You, Hurting Me
RomanceDua hati yang saling mendamba Dua raga yang sulit bersama