Enam bulan sebelumnya,...
Bianca menatap sedih ayahnya yang tengah terbaring dengan wajah nyaris tanpa rona. Jemarinya menggenggam erat tangan kasar ayahnya yang terasa semakin dingin. Wajahnya sembab, tidak menyembunyikan sisa tangis beberapa menit yang lalu.
"Jangan kayak gini, Yah. Bian cuma mau Ayah sembuh. Lihat Bian dewasa. Terus menikahkan Bian dengan lelaki yang Ayah restui."
Ayahnya tersenyum tipis. Menahan rasa sakit yang terasa dari sekujur tubuhnya. "Ayah yang sekarang, gak bisa berjanji sejauh itu, nak. Bisa bangun besok pun, Ayah gak tahu."
Bianca menggeleng dengan tatapan penuh rasa takut. Beberapa bulir air mata menganak sungai kembali di atas kedua pipinya. Tanpa suara.
"Dengar. Setidaknya, Ayah sudah mengusahakan tugas terakhir Ayah. Menyerahkan sisa tanggung jawab Ayah pada orang yang Ayah percayai."
Bianca menekan dahak yang menghalangi suaranya. Sehingga yang terdengar hanya suaranya yang kembali serak. "Ayah bahkan gak tahu seberapa jauh umur Ayah. Tapi Ayah bisa seyakin itu kalau dia memang jodoh Bian?"
Ayahnya tersenyum lagi. Dalam hati, ia begitu mengagumi kecerdasan putri semata wayangnya menanggapi pendapatnya.
"Ayah berusaha menjodohkan kamu dengan putranya Rendra, karena Ayah mengenal watak anak itu dengan baik. Dia bisa menjaga kamu."
"Tapi, Ayah,..."
Ayahnya menggerakkan tangannya yang tengah digenggam Bianca. Membuat Bianca menghentikan bantahannya.
"Ayah bilang, dia bisa menjaga kamu. Setidaknya sampai kamu benar-benar menikah nanti. Perkara jodoh, itu urusan Allah."
"Ayah, please..." rengek Bianca diiringi isak tangisnya, lagi.
Suara pintu terbuka, membuat Bianca dan ayahnya menengok ke sumber suara. Di sana seorang pria, tersenyum ramah pada keduanya, lalu masuk setelah mengucapkan salam.
"Bara."
Sapaan ayahnya pada pemuda ini menyadarkan Bianca. Dengan gesit, ia bangkit, menghapus jejak air mata di wajahnya lalu memberikan minuman kemasan untuk tamunya tersebut.
"Bara, ini Bianca. Bianca, ini Bara. Putranya Rendra."
Itu suara ayahnya. Tapi bukan itu fokus Bianca saat ini. Pria yang kini duduk di sisi ranjang berseberangan dengannya ini jelas tidak asing.
"Oh, ini Bianca putri Om. Saya tahu, dong. Kan satu sekolah." jawab pria itu santai.
"Oh, ya?" Ayah Bianca terkekeh. "Dasar orang tua. Hal sepenting itu kami luput menanyakannya."
Bianca dan Bara hanya terdiam. Bianca masih menatap Bara dengan tatapan malas. Sedangkan Bara tersenyum ramah pada Bianca.
"Jadi beneran udah saling kenal, Bi?" tanya ayahnya lagi.
"Kalau kenal, sih, enggak, Yah. Cuma tahu aja." jawab Bianca berusaha terdengar santai.
Bara menatap Bianca geli. "Bianca benar, Om. Kami gak benar-benar saling kenal."
Ayah Bianca mendesah. "Seenggaknya kalian gak seasing itu. Ayah cukup lega kalau gitu."
Keduanya terdiam tak tahu harus menanggapi apa. Suasana kamar rawat itu mendadak canggung.
"Bara," panggil ayah Bianca lirih.
"Iya, Om?"
"Om sudah bilang kan? Untuk minta tolong bantu Om menjaga anak gadis Om ini?"
Bara mengangguk pelan. "Sudah, Om. Saya akan menjaganya, dari siapapun yang akan menyakitinya bahkan jika itu adalah diri saya sendiri. Saya juga sudah berjanji, kan?"
Dan untuk pertama kalinya, Bianca menatap seorang pria dengan pandangan takjub.
KAMU SEDANG MEMBACA
Loving You, Hurting Me
RomanceDua hati yang saling mendamba Dua raga yang sulit bersama