Hari-hari selanjutnya diisi dengan persiapan ujian akhir semester. Bianca si Ratu Es berubah menjadi The Ice Nerdy Girl. Lalu Bara tetap menjadi idola para siswi perempuan.
Sebelumnya, satu hari setelah perdebatan kecil mereka di depan pintu toilet, video level paparazi tentang perdebatan tersebut tersebar. Para siswi perempuan jelas paling antusias menyambut kabar ini. Berbeda dengan para siswa laki-laki yang meringis karena minder. Bara yang jelas-jelas menjadi salah satu most wanted saja bisa dicampakkan semudah itu, apalagi mereka yang memiliki modal pas-pasan dalam segala hal.
Video itu memang menjelaskan tentang perjanjian Bianca-Bara. Namun, para siswa justru fokus pada Bara. Tepatnya bagaimana Bara terlihat tak berdaya, dicampakkan si Ratu Es. Sempat membuat para ladies berang, namun CCTV sekolah mereka yang berada di setiap sudut sekolah, seolah tak membiarkan rencana jahat mereka pada Bianca dapat terlaksana.
Dan entah siapa yang pertama kali mencetuskannya, mereka beranggapan bahwa Bianca menjadi pemeran antagonis dan Bara menjadi protagonis-nya. Seandainya mereka semua tahu bahwa Bianca sudah begitu muak dengan drama apapun. Tapi keputusannya untuk melepas semuanya, justru membuatnya tenggelam dalam drama baru.
Tidak mengherankan melihat Bianca yang nyaris tidak terlihat di sekolah. Bianca selalu sampai di sekolah saat sekolah baru dibuka, mengingat rumahnya sekarang hanya beberapa meter dari sekolahnya. Saat jam pelajaran, Bianca memang terlihat duduk manis di bangkunya. Namun di luar itu, Bianca seolah-olah lenyap dari peredaran. Salahkan letak perpustakaan yang berada pada sudut belakang sekolah dan jarang didatangi siswa. Bianca sampai menobatkan perpustakaan menjadi tempat nongkrong-nya. Karena hanya di sana Bianca merasa tenang, tanpa pandangan mengerikan dari fans gila Bara.
Sedangkan Bara adalah si protagonis yang terlihat biasa-biasa saja. Bara masih menjalani hari-harinya seperti biasa. Bermain bola dan basket dengan sahabat-sahabatnya, nongkrong di kantin, bercengkrama dan tertawa usil, bahkan menanggapi beberapa fans nya yang ingin berfoto atau memberi hadiah.
Namun para sahabatnya jelas lebih merasakan perbedaannya. Bahwa Bara tak lagi sama. Sejak mengakui kekalahannya, yang mengorbankan dua bulan uang sakunya untuk mentraktir sahabatnya makan siang selama satu minggu, Bara terlihat lebih banyak diam. Mereka menyadari bahwa Bara seringkali terjebak dunianya sendiri, atau menghela nafas seperti tengah menanggung beban terlalu berat.
Dan seperti saat ini, Bara selalu menjadi orang pertama yang undur diri saat mereka tengah berkumpul bersama.
"Gue duluan, ya!"
Raka melirik Bara jengah. "Lo ngapain lagi sekarang?"
Bara meringis. "Susah jelasinnya."
Dan Bara pun berlalu. Meninggalkan teman-temannya yang tidak bisa menahan diri untuk mengeluh.
"Udah parah banget si Bianca bikin Bara baperan gitu." sahut Panji saat sosok Bara sudah tidak lagi terlihat.
"Bara bisa juga kena pesonanya Bianca." Kali ini Anang, yang lebih pendiam, yang menunjukkan rasa takjubnya.
"Bara jadi dingin dingin gitu, ya?" tanya Gun berusaha bercanda.
"Gue gak nyangka Bianca sejahat itu." sahut Dirga.
"Lagi berduka dia. Lo pada tahu kan, si Bianca mau deket-deket Bara gara-gara bokapnya." jawab Raka tenang.
"Tapi kan bukan Bara yang bikin bokapnya Bianca meninggal. Gitu banget sama Bara. Lebay." Vino menyahut setelah menghabiskan nasi pecelnya.
"Bara juga lebay, kalau gitu. Kayak gak ada cewek lain aja." sahut Gun setelah menyeruput jus melonnya.
Panji meletakkan ponsel yang sedari tadi ia perhatikan. "Namanya juga lagi baper. Lo semua juga kalo lagi kebawa perasaan gitu bakal mellow kayak cewek."
"Ogah!"
"Idih!"
"Najis!"
Sahut mereka nyaris bersamaan dengan tampang jijik.
Sedangkan Bara, yang baru saja dibicarakan, tengah mengendap-endap memasuki perpustakaan. Melihat sosok yang dicarinya, Bara segera bersembunyi di balik rak buku agar tak terlihat. Seperti biasa. Sejak perdebatan terakhir mereka.
Bianca tengah mencoret-coret buku tulisnya. Dari jarak sekitar lima meter, Bara bisa menebak bahwa Bianca tengah menghitung sesuatu. Saat Bianca menghempaskan buku yang sedari tadi ia pegang, Bara bisa membaca tulisan "Fisika" di sana. Bara meringis. Tangannya mengepal, terasa gatal ingin menjangkau puncak kepala Bianca, lalu mengusap-usapnya.
Bianca menghentikan kegiatannya. Pandangannya tiba-tiba menerawang jauh menembus dinding di depannya. Bara bisa melihat tatapan kosong itu. Sambil berharap dalam hati, setidaknya ada dirinya terbersit di sana.
Bianca menunduk, menyembunyikan wajahnya di balik lipatan kedua lengannya. Bara bisa melihat bahu Bianca yang bergerak naik turun. Bara merasakan perasaan itu lagi. Seperti ada sesuatu di balik dadanya yang diremas. Bianca-nya menangis. Lagi. Sejak pertama ia setia mengintai Bianca di sini.
Bi, jangan nangis lagi.
Kamu masih merasa kehilangan ayah kamu, ya?
Mungkin gak, kamu begini karena aku?
Bara terkekeh dengan pikirannya sendiri.
Siapa aku, ya, Bi? Kamu bahkan gak nganggep aku ada. Jelas aku gak bakal se-berarti itu buat kamu.
Setelah bel masuk kelas berbunyi, Bara segera keluar dari tempat persembunyiannya. Dengan langkah selirih mungkin, ia meninggalkan Bianca yang masih terisak tanpa suara dengan kepala tertelungkup. Dengan perasaan tak menentu, Bara melangkah keluar perpustakaan.
Sebelum pintu perpustakaan yang terbuat dari kaca bening itu tertutup, Bianca mengangkat wajahnya, mengarahkan pandangan langsung ke arah pintu perpustakaan. Ia bisa melihat punggung seorang siswa di balik pintu kaca. Ia mengernyit, lalu mengucek matanya yang basah, memastikan penglihatannya.
"Bara?" lirih Bianca.
Gak mungkin. Bara yang aku tahu, pasti saat ini masih nongkrong di kantin bareng geng-nya.
Dengan keyakinan itu, Bianca bangkit setelah mengemas alat tulisnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Loving You, Hurting Me
RomanceDua hati yang saling mendamba Dua raga yang sulit bersama