Bara keluar dari kamar rawat Bianca dan mendapati dirinya dipeluk seorang wanita. Bara mengerjap bingung sekaligus risih dengan wanita asing yang memeluknya. Ia mengedarkan pandangan, menemukan Ted yang menatapnya sambil bersedekap.
"Terima kasih, Bara."
Mendengar suara lirih itu, Bara meringis menyadari bahwa wanita yang memeluknya adalah Citra. Perasaan risih tadi berubah semakin tidak nyaman karena menyadari Ted yang terus menerus mengawasinya.
Citra melepaskan pelukannya. Melihat Bara yang menatapnya aneh, Citra terkekeh. "Maaf, aku terlalu senang. Salahkan hormonku yang tidak stabil."
Ted menghembuskan nafas. "Bagaimana keadaanmu?" tanya Ted pada Bara.
Bara melihat Citra yang langsung menempel pada suami bule-nya. "Baik. Hanya agak nyeri saja."
"Sebaiknya kamu kembali ke kamarmu." saran Ted.
"Aku melewatkan momen penting melihat Bianca sadar karena pemeriksaan sialanmu tadi. Sekarang aku akan menunggunya sadar."
Ted mengerang kesal.
Citra terkikik. "Pindahkan saja ranjang Bara ke kamar Bianca. Jadi Bara tetap bisa istirahat, sambil menunggu Bianca sadar."
***
Bara terbangun dan melihat Bianca yang menatapnya bingung dari ranjang di seberangnya. Sepertinya ia tertidur setelah ranjangnya dipindahkan.
"Hai, Bi? Udah lama ya, kamu bangun?"
Bianca mengerjap. Melihat Bara terbaring menggunakan seragam pasien yang sama membuatnya tidak mengerti. "Kamu sakit juga?"
Bara bangkit dan sedikit meringis karena sengatan nyeri di bagian perutnya. "Gak separah kamu."
Bara turun dari ranjangnya. Ia mendekati Bianca yang menatapnya defensif.
"Bagaimana keadaan kamu?"
Bianca menatap Bara bingung.
Bara balas menatap Bianca curiga. "Wait, kamu gak hilang ingatan, kan? Kamu ingat, kan, aku siapa?"
Bianca memutar bola mata. "Aku serius, Bara. Kamu sakit apa? Kenapa kamu bisa di sini? Di kamar rawat aku."
Bara tersenyum usil. Senyum yang begitu Bianca rindukan. Jantung Bianca pun mulai berdebar cepat.
"Mungkin karena kita melewati serangkaian operasi yang sama?" jawab Bara santai.
Bianca mengernyit. Ingatan tentang perampokan yang ia alami membuatnya tersadar. "Ya Tuhan, jangan bilang kamu tertusuk juga?" tanyanya panik.
Bara tertawa. Tangannya yang bebas dari infus menggapai dahi Bianca dan menyingkirkan beberapa helai rambut di sana. "Ciyee, yang lagi kuatir sama keadaanku."
Bianca berdecak. "Bisa serius gak, sih, Bar? Aku gak bisa maafin diriku sendiri kalo kamu sampai celaka gara-gara aku. Kamu juga ngapain, sih, bisa sampai di makam itu? Nyari mati, tahu, gak!"
Bara mengerjap mendengar serentetan omelan Bianca. Dalam hati Bara mengutuk kebodohannya yang tidak menyadari perasaan Bianca sejak dulu.
Bara menatap Bianca lembut. Tangannya menyentuh pipi Bianca seringan bulu. "Aku gak akan mati. Selama kamu tetap bertahan, Bi."
Bianca tertegun.
"Kamu gak tahu gimana takutnya aku saat kamu gak sadar. Rasanya sesak, Bi. Melihat kamu sekarat kayak gitu, seolah-olah nyawaku yang bakal tercabut."
Bianca menelan ludah. "Sebenarnya apa yang terjadi, Bar? Aku sekarat? Tapi kenapa aku masih,...? Seharusnya aku gak tertolong."
Ekspresi Bara mengeras. "Bodoh! Kamu kira aku bakal biarin kamu mati konyol kayak gitu?"
Bianca mengerjap. Terlalu terkejut dengan lonjakan ekpresi Bara.
"Kamu mendapat donor ginjal." sambung Bara datar.
Bianca menghela nafas. "Pantas saja aku merasa lebih baik sekarang."
Bianca mengernyit, menyadari sesuatu. "Tapi bagaimana mungkin Ted mendapat donor secepat itu? Aku tahu prosedurnya sangat panjang,..."
Ucapan Bianca berhenti saat melihat Bara yang tersenyum lembut.
"Ya Tuhan. Please, jangan bilang kamu,..."
"Yes, Bi. Aku mendonorkan salah satu ginjalku."
Bianca terdiam kehabisan kata-kata.
***

KAMU SEDANG MEMBACA
Loving You, Hurting Me
Storie d'amoreDua hati yang saling mendamba Dua raga yang sulit bersama