Entah sudah berapa kali Panji menghela nafas melihat kondisi Bara di hadapannya. Malam semakin larut, dan kondisi di sekitar ruko di depannya semakin senyap. Dalam hati, Panji merutuk Bianca yang lagi-lagi membuat Bara terlihat mengenaskan seperti ini.
Sore tadi, Panji ikut ke rumah sakit untuk menengok Bara, serta ikut membantu Bianca yang akan keluar dari rumah sakit hari ini. Namun mereka justru menemukan ruang rawat inap Bianca yang sudah kosong. Bara semakin panik ketika para perawat mengatakan bahwa Bianca telah pergi sejak tadi siang.
Tujuan pertama setelah rumah sakit, adalah ruko tempat Bianca menjalankan usaha florist-nya yang sekaligus menjadi tempat tinggalnya. Namun nihil, ruko tersebut terlihat sepi dan menurut keterangan penghuni ruko di sebelah, Bianca tidak pernah terlihat selama satu minggu ini.
Bianca yang pendiam dan introvert, membuat Bara kehilangan arah. Ia sudah pernah mengunjungi kedua rumah lama Bianca, dan ia hanya menemukan orang asing yang tidak mengenal sosok Bianca.
Dan akhirnya, Bara hanya terduduk pasrah di depan ruko Bianca, dengan wajah tersembunyi di balik lipatan tangannya. Perasaannya kacau karena merasakan panik, takut, khawatir, kecewa, dan marah sekaligus.
"Bar, aku rasa gak guna lagi kita di sini. Kita lanjut lagi besok. Ok?"
Bara bergeming. Panji yang mulai hilang kesabaran, langsung menarik lengan Bara hingga Bara bangkit berdiri sempoyongan karena tidak siap.
Saat Panji kembali menarik lengannya, Bara menghentakkan tangannya hingga terlepas. "Aku mau nungguin Bianca. Dia pasti akan pulang."
Panji mengumpat. "Jangan bodoh, Bar. Kamu bakal jadi bulan-bulanan perampok di sini!"
Bara terdiam. Ia menyadari bahwa Panji ada benarnya. Namun, ia masih ingin menunggu Bianca di sini.
Panji menarik nafas menetralkan emosinya. "Bar, kamu perlu istirahat dan menenangkan diri. Besok kita lanjutkan pencarian kita dengan kondisi tubuh yang lebih fit dan pikiran yang jernih. Ok?"
Bara menyerah. Akhirnya, ia mengikuti Panji kembali ke dalam mobil.
Di mana kamu, Bi? Kenapa ninggalin aku lagi?
***
Bianca berdiri lama menatap rumah lamanya. Rumah yang dibangun almarhum ayahnya untuk Bianca dan ibunya. Mengingat ibunya, air mata Bianca kembali menggenang.
R
umahnya tidak banyak berubah. Kondisi fisiknya masih kokoh walaupun warna cat rumahnya berubah menjadi lebih feminim dengan warna pink dan warna pastel lainnya. Kondisi taman di depan rumahnya pun tidak seasri dulu, karena rumah ini memang sudah lama kosong sebelum ditempati oleh orang lain beberapa bulan lalu.
"Bianca!" jerit seseorang dari pintu depan. Bianca tersenyum tipis melihat seorang gadis yang lebih tua dua tahun darinya berlari tergopoh-gopoh ke arahnya.
Di belakang gadis tersebut, seorang pria muncul dengan wajah panik. "Jangan lari-lari, Baby! Ingat bayi kita!"
Gadis itu memeluk Bianca erat. Bianca membalas seperlunya.
"Kenapa gak pernah mampir?" tanya gadis itu tanpa melepas pelukannya.
"Lepas dulu, suami Mbak marah, tuh."
Gadis itu menurut. Ia langsung menggandeng Bianca memasuki rumah. Ia disambut pria blasteran yang terlihat menatap istrinya khawatir. Bianca langsung teringat Bara yang tadi sempat menatapnya seperti itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Loving You, Hurting Me
Lãng mạnDua hati yang saling mendamba Dua raga yang sulit bersama