"Maafkan sikap Bara, ya, Nak?"
Bianca mengangguk sekali. Enggan menatap Rendra yang berjalan beriringan dengannya.
"Bagaimana kondisimu sekarang?"
Bianca melirik Rendra sekilas. "Aku baik, Om."
Rendra menghentikan langkah. Mau tak mau, Bianca ikut terhenti.
"Coba Om lihat."
Rendra merangkum wajah pucat Bianca. Bianca jelas terlihat seperti mayat hidup. Rendra berdecak.
"Kita akan minta dokter melakukan pengecekan lagi. Kita harus pastikan kalau ginjal itu benar-benar cocok."
Bianca mengangguk pasrah, sekali lagi enggan menolak.
Sesampainya di kamar tempat ia dirawat, Bianca duduk di atas ranjang. Wajahnya masih ia tundukkan.
"Bian, ada apa?" tanya Rendra bingung. "Ada yang sakit?"
Bianca mengangkat wajah, berusaha menarik senyum. "Aku baik-baik saja, Om. Aku mungkin sedikit mengantuk."
Rendra menghela nafas keras. "Oke, sekarang tidur. Om gak akan biarkan kamu mencoba kabur lagi."
Bianca mengangguk singkat. Selanjutnya, ia berbaring dan Rendra menutup separuh tubuhnya dengan selimut.
Rendra menatap Bianca sedih. "Gadis hebat." lirihnya.
"Walau mengalami nasib seperti ini, kamu tetap masih bisa bertahan. Kamu benar-benar tangguh."
Bianca meringis. Ia sadar benar, bahwa sebelum tersadar di rumah sakit ini, ia telah sampai pada titik dimana ia harus menyerah.
"Maaf, Bian gak tahu kalau Bara akan mendonorkan ginjalnya. Bian,... Seandainya Bian cukup sadar, Bian gak akan membiarkannya. Maafkan Bian, Om."
Rendra tersenyum."Bahkan jika Bara menolak mendonorkan ginjalnya, Om sendiri yang akan memaksa dia."
Bianca melotot. "Om? Tapi Bian membuat hidupnya beresiko."
Rendra mengusap dahi Bianca yang berkerut. "Bara akan baik-baik saja, Bian. Asal kamu juga tetap hidup dan sehat."
Bianca menggigit bibir. "Om?"
"Ya?"
"Seperti apa calon istri Bara?"
Rendra tertegun sejenak. "Calon istri?"
Bianca mengangguk cepat. "Bian dengar dia baru melamar seseorang."
"Oh, ya?" tanya Rendra bingung. "Om gak pernah dengar kabar itu."
Bianca menatap Rendra heran. "Bukankah Bara melamar di hari kepulangannya ke Indonesia?"
Rendra mengerjap. Satu pemahaman membuatnya tergelak. "Astaga. Acara lamaran sekaligus penyambutan itu?"
Bianca mengangguk kaku.
Rendra menatap Bianca dengan senyum lebar menahan geli. "Bian sayang, hari itu Bara gak melamar siapapun."
Dahi Bianca semakin terlipat. "Tapi Bara..."
"Satu-satunya gadis yang ingin ia lamar, saat ini sedang terbaring sakit dan menyimpan salah satu ginjalnya."
Bianca melotot ngeri.
Rendra terkekeh. "Sejak dulu, gadis itu selalu kamu, Bian. Malam itu, memang merupakan acara penyambutan Bara, sekaligus acara lamaran. Tapi lamaran itu untuk salah satu keponakan Om, sepupu Bara."
Kali ini Bianca hanya menggigit bibir. Wajahnya kalut antara rasa bingung, disorientasi, dan bahagia.
"Bara memang sangat payah sampai-sampai tidak menyadari kesalahpahaman kamu."
Melihat tatapan kosong Bianca, Rendra mendesah. "Cukup. Jangan memikirkan apapun, Bi. Kamu baik-baik saja sekarang. Fokus dengan kesehatan kamu. Jangan sia-siakan ginjal yang sudah Tuhan berikan."
Bianca menatap Rendra dengan mata berkaca-kaca. Rendra tersenyum tipis. "Gak ada lagi air mata, sayang. Penderitaanmu sudah berakhir."
***

KAMU SEDANG MEMBACA
Loving You, Hurting Me
RomanceDua hati yang saling mendamba Dua raga yang sulit bersama