Bertahanlah, Bi.
Aku mohon jangan tinggalkan aku.
Aku butuh kamu.
Katakan lagi, Bi. Aku ingin dengar lagi.
Bangunlah, aku mencintaimu.
Bianca membuka mata dan kembali terpejam karena merasa silau. Ia berusaha mengangkat tangan untuk menutupi cahaya di sekitarnya, namun kedua tangannya terasa berat. Tubuhnya bahkan terasa kaku.
Apakah akhirat sesilau ini?
Atau mungkin ini surga?
Neraka tidak mungkin senyaman ini, kan?
Tapi sejak kapan dunia akhir terlihat seperti rumah sakit?
Pertanyaannya terjawab saat matanya mulai beradaptasi dengan cahaya. Entah dari arah mana, Bianca telah dikelilingi sejumlah orang berpakaian serba putih ala dokter dan perawat. Bianca pasrah saat dokter mulai mengecek kondisi tubuhnya. Ia bahkan merasa kaku untuk bergerak. Mengangguk atau menggeleng pun terasa berat.
Bianca tahu kondisinya. Hal itu pula yang membuatnya terlalu takut untuk bertanya. Namun saat mendengar dokter menyebut kata 'polisi' dan 'luka tusuk', Bianca sukses mengernyit bingung.
Bianca menelusuri ingatannya. Hal terakhir yang ia ingat adalah saat ia berada di makam kedua orang tuanya. Lalu saat Bianca keluar dari area pemakaman, ia sadar tengah diikuti dua orang pria berwajah sangar. Ia dikejar hingga tersudut, lalu semua terjadi terlalu cepat hingga entah bagaimana Bara datang dan Bianca tertusuk.
Bianca melirik perutnya, berharap bisa mengetahui apa yang terjadi kepadanya. Bianca merasa bagian perutnya terasa tebal. Mungkin pengaruh anestesi atau balutan perban?
Jadi ia hanya tertusuk biasa? Apakah ginjalnya juga baik-baik saja?
"Ya Tuhan, Bian!"
Bianca tidak bisa menahan senyum melihat wajah sembab Citra.
"Hai." sapa Bianca serak.
"Tenggorokanmu kering? Minum?"
Bianca mengangguk. Walaupun ia sempat diberi minum oleh salah satu perawat tadi, ia masih merasa haus.
Citra menatap Bianca lembut. "Jangan begini lagi, ya? Rasanya lebih mengerikan daripada saat mengalami kontraksi."
Bianca tersenyum lebar. "Usia kandunganmu bahkan belum masuk 3 bulan. Kontraksi apaan."
Citra terkekeh, namun tetap menatap Bianca penuh kekhawatiran.
Bianca berdeham. "Jadi, setelah aku tertusuk, apa yang terjadi?"
Citra menunduk. Tangannya masih erat menggenggam tangan Bianca.
"Ceritanya panjang. Sekarang istirahatlah. Kamu baru sadar. Kamu butuh istirahat banyak."
Bianca memilih keras kepala. "Tapi,..."
"Sst!" sahut Citra cepat, disertai tatapan yang menunjukkan bahwa ia sedang tidak mau dibantah.
"Perampok yang menusuk kamu sudah tertangkap. Sebentar lagi pihak berwajib akan datang meminta kesaksian kamu. Jadi kamu perlu istirahat banyak. Kamu masih punya banyak pengunjung."
Bianca mengangguk pelan.
Citra tersenyum, lalu mengusap rambut Bianca. "Tidurlah."
Bianca menatap Citra, lalu teringat suara-suara yang ia dengar di alam bawah sadarnya.
"Apa lagi yang kamu pikirkan?" tanya Citra menyadari makna tatapan Bianca kepadanya.
"Selama aku tertidur, aku seperti mendengar suara seseorang. Suaranya terngiang terus menerus. Aku pikir, suara itu,..."
Citra tersenyum melihat Bianca yang ragu menebak. "Bara?"
Bianca langsung terpejam karena salah tingkah. "Lebih baik aku tidur lagi."
Citra terkekeh. "Tentu saja kamu hanya akan mendengar Bara. Dia seperti pasien kedua di ruangan ini. Kalau bukan karena dokter yang mengusirnya, Bara tidak akan membiarkanmu terbaring sendiri."
Bianca mengerjap. "Di mana Bara?" tanya Bianca, terlalu antusias.
Citra tersenyum lembut. Wajahnya mendekat mencium dahi Bianca. "Tidurlah. Kita masih punya banyak waktu untuk bercerita."
Bianca menurut, walaupun masih merasa aneh. Ia tidak mungkin lupa tentang fakta bahwa hidupnya tidak akan berlangsung lama. Namun, mendengar keberadaan Bara yang mendampinginya selama tidak sadar, Bianca tidak bisa menolak untuk bahagia. Setidaknya, saat menghadapi akhir hidupnya, ia masih dikelilingi oleh orang-orang yang disayanginya.
Pemikiran itu membuatnya terlelap dengan senyum tipis. Matanya sudah terlalu lelap, saat suara yang selalu dirindukannya kembali terdengar.
Terima kasih, Bi. Untuk tetap hidup.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Loving You, Hurting Me
RomanceDua hati yang saling mendamba Dua raga yang sulit bersama