"Halo, Bar? Di mana?"
Bara mengerjap sebentar. "Baru selesai main futsal. Sekarang mau makan."
"Kirim alamatnya. Aku langsung nyusul sekarang."
Sebelum Bara memberikan tanggapan apapun, terdengar bunyi klik, dan sambungan telepon diputus begitu saja oleh Bianca, membuatnya semakin heran.
Dua minggu penuh bersama Bianca, membuat Bara mampu membaca sedikit watak Bianca, yang selalu ia tunjukkan, tanpa ia sadari. Pertama, Bianca tak pernah meneleponnya terlebih dulu. Kedua, Bianca tidak pernah setengah-setengah. Ketika Bianca ingin menyampaikan sesuatu, dia akan mengatakannya dengan jelas, secara langsung, tanpa ditunda. Dan mendengar Bianca hanya akan menyusulnya, jelas ia tengah menunda sesuatu yang penting. Apapun itu, Bara merasakan firasat buruk. Bahwa entah mengapa, hari ini benar-benar tidak akan berjalan baik.
Setelah mengetik alamat lengkap salah satu kedai favoritnya, Bara mengantongi ponselnya dan berjalan cepat menyusul teman-temannya. Kedai makanan sederhana itu terletak berhadapan langsung dengan lapangan futsal tempat Bara dan rekannya bermain tadi.
"Ciee, yang habis ditelepon Nyonya Besar. Telinga langsung dingin-dingin gitu, ya, ditiup Ratu Es via telepon?" ejek Panji, salah satu temannya.
Lima temannya yang lain menanggapi dengan tawa. Bara merengut.
Tujuh remaja tanggung itu memasuki kedai dan langsung menuju meja panjang di pojok kedai, lokasi favorit mereka saat berkumpul usai bermain futsal. Meja panjang itu bersisian dengan jendela lebar yang selalu dibuka. Hawa sejuk dari pohon nangka di samping kedai, meniupkan angin sepoi-sepoi dari jendela. Dan mereka tidak butuh pendingin ruangan lagi.
"Kapan mau diputusin, Bar?" tanya Raka, kiper dalam tim futsalnya.
"Apanya yang diputusin?" tanya Bara bingung.
"Si Ratu Es, Bar. Lo betah banget kayaknya. Semingguan ini tambah lengket aja." sahut Vino.
"Bener banget, Vin. Lo gak baper kan, sama si Frozen?" tanya Gun, remaja berotot yang juga hobi olah raga tinju.
Kedua temannya yang lain, Dirga dan Anang, hanya mengangguk-angguk menyetujui ucapan Vino, lantas menatap Bara menuntut penjelasan.
"Pertama, gue gak baper. Kedua, taruhan kita cuma sampe gue berhasil jadian sama Bianca. Gak ada deadline gue mesti putus kapan. Ketiga, gue gak mungkin putusin dia sekarang, lo pada tau, kan, bokapnya lagi sakit sekarang. Minimal bokapnya udah keluar dari rumah sakit, baru gue bisa putusin. Lagian, doi anaknya lucu kalo dijahilin. Lumayan buat hiburan."
"Yang Mulia Ratu panjang umur, tuh. Udah nangkring di sini, aja." Dirga tiba-tiba menyahut sambil menggerakkan dagunya ke arah pintu kedai.
Bara yang duduk berhadapan dengan Dirga langsung menoleh. Mendapati Bianca menatapnya datar, ia tersenyum tanpa sadar.
"Gue ngelonin cewek gue dulu, ya." kata Bara sembari bangkit mengangkat ranselnya.
"Najis, lo." sahut semua temannya yang disambut kekehan Bara.
"Hai," sapa Bara ramah.
"Kita ngomong di luar." sahut Bianca dingin, lalu langsung berbalik keluar kedai.
Bara menekan perasaan ngeri yang kembali ia rasakan. Ia mengikuti langkah Bianca, dan duduk pada bangku panjang di bawah pohon nangka samping kedai.
"Tumben ngajak kencan, Bi? Pas banget nih pacaran di bawah pohon nangka. Adem semriwing gitu." ujar Bara, berusaha menghangatkan hawa dingin dari Bianca sedari tadi.
"Kesepakatan kita, Bar." lirih Bianca sambil menoleh menatap Bara tepat di matanya. "Kita akhiri aja."
Bara, yang tak pernah menduga permintaan itu, terlalu bingung harus menanggapi apa. Jadi, dia hanya diam menatap Bianca, menunggu penjelasan.
"Aku dan kamu, kembali lagi seperti biasa, gak saling mengenal. Kamu bisa jalani kehidupan kamu yang biasa. Aku akan jalani rutinitasku seperti biasa. Gak ada antar-jemput. Gak ada pegangan tangan. No drama anymore."
Bianca menyadarinya. Kehampaan saat membayangkan bagian itu menghilang begitu saja. Tapi Bianca tidak peduli. Apapun yang tengah ia jalani dengan Bara adalah kesalahan.
"Kenapa, Bi? Kenapa tiba-tiba? Salahku apa?" tanya Bara setelah menemukan suaranya.
"Apapun yang pernah kamu lakukan untukku dan keluargaku, aku sungguh berterima kasih. Tapi ini harus berakhir, Bar."
"Bagaimana dengan Om Faris? Kamu gak mungkin bikin ayah kamu kecewa, kan, Bi?"
"Aku bisa jelasin ke Ayah, kalau kita sudah mencoba membuka diri. Namun kita gak cocok, jadi kita hanya tetap akrab sebagai teman. Kamu akan tetap menjagaku atas nama pertemanan."
"Pertemanan bullshit!" umpat Bara lepas kontrol.
Bianca menegang, menyadari amarah Bara yang tidak biasa. "Kita gak akan berakhir, Bi. Gak akan pernah!" seru Bara dengan wajah memerah.
"Cepat atau lambat, drama kita pasti akan selesai, Bar."
"Kamu gak ngerti istilah 'gak akan pernah'?" tanya Bara sinis.
"Kamu kenapa, sih, Bar? Aku sedang memberikan kamu kebebasan. Jangan memaksakan diri kamu lagi. Kita udahan, ya. Please." kata Bianca terdengar lelah.
Bara melunak, menatap Bianca yang terlihat sendu. "Ada masalah apa, Bi? Ada yang gak kamu ceritakan?"
Bianca ingin menangis melihat tatapan kasihan dari Bara. Tapi yang terjadi hanya ringisan kecil. "Jangan berkorban apapun, Bar. Aku mohon."
Bara membisu. Menerka-nerka. Dan berakhir dengan pikiran yang buntu.
"Apapun yang terjadi pada Ayah, jangan berkorban apapun. Jalani hidupmu dengan baik. Tubuh ini," Bianca menepuk bahu Bara, "gak wajib berkorban sejauh itu."
"Ini gak seperti kamu, Bi. Bicara yang jelas. Aku gak paham kalau kamu ngomong random gini."
Suara dering ponsel Bianca menghentikan pembicaraan mereka.
"Iya, Bunda?"
Bara melirik Bianca yang juga tengah meliriknya.
"Lagi bareng Bara, Bun."
Hening sejenak. Fokus Bara kini hanya pada gadis di sampingnya.
"Ayah gak papa, kan, Bun? Jangan nakut-nakutin Bian, deh."
"Yaudah. Bian sama Bara ke rumah sakit sekarang."
Tak perlu menunggu penjelasan Bianca, Bara langsung bangkit. Meraih salah satu pergelangan tangan Bianca, Bara melangkah dalam sunyi. Ia sudah cukup merasa buruk dengan permintaan gila Bianca tadi. Kini, Bara hanya bisa berdoa dalam hati.
Tuhan cukup ini saja, jangan menambah yang lebih buruk lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Loving You, Hurting Me
RomanceDua hati yang saling mendamba Dua raga yang sulit bersama