Bertemu Kembali

369 37 0
                                    

Beberapa minggu terakhir, tenaga Bianca seolah dikuras habis-habisan. Pesanan rangkaian bunga membludak tiba-tiba. Kebanyakan rangkaian bunga dipesan untuk acara pernikahan. Akhir dan awal tahun memang menjadi bulan yang paling laris, karena banyak pasangan yang memilih tanggal pernikahannya pada momen akhir dan awal tahun, terutama menjelang hari valentine.

Bianca menghembuskan nafas lelah setelah meletakkan rangkaian bunga yang entah keberapa hari ini. Melihat check list-nya, Bianca mendesah lega, karena target hari ini sudah selesai. Bianca memang telah mengatur kapan harus mulai merangkai bunga sesuai waktu yang diminta setiap pelanggan. Hal ini ia lakukan saat pesanan mulai menggila seperti beberapa minggu ini, agar tidak ada pelanggan yang kecewa karena keterlambatan.

"Pas banget, Mbak. Orangnya baru datang nanyain pesanannya."

Bianca tersenyum tipis. Ia menghitung kembali banyak rangkaian bunga yang dibuat sama persis dalam keranjang rotan.

Rere mengambil salah satu rangkaian untuk dibawa ke luar ruangan. "Sweet banget ya, Mbak. Buat lamaran doang bikin sampe 11 keranjang gini. Katanya sesuai tanggal jadian."

Bianca tidak menjawab. Rere juga sudah keluar membawa salah satu keranjang bunga. Selanjutnya beberapa pekerjanya yang lain juga masuk mengambil rangkaian bunga lain.

Tokonya memang tidak terlalu besar. Bianca hanya memperkerjakan empat orang sebagai kasir, tukang kebun, tukang bersih-bersih, dan asisten. Rere, sebagai asisten Bianca, bertugas sebagai juru bicara, menjelaskan bunga apa saja yang tersedia di florist, bahkan menjelaskan makna setiap jenis bunga jika perlu. Sesekali, Rere akan ikut serta membantu Bianca merangkai bunga, terutama pada saat-saat sibuk seperti ini.

Bianca melirik rangkaian bunga terakhir yang belum dibawa keluar. Biasanya, Bianca enggan menampakkan diri di hadapan pelanggan. Namun entah kenapa, hari ini ia penasaran ingin melihat sosok pria yang memesan rangkaian bunga sederhana namun jumlahnya sesuai dengan tanggal penting mereka.

Bianca menyiapkan mimik wajahnya yang kaku untuk terlihat ramah. Ia sudah memasang senyum tipisnya saat keluar ruangan membawa rangkaian bunga terakhir.

Namun senyum tak seberapa itu langsung pudar saat melihat sosok di hadapannya. Sosok itu juga menghentikan langkahnya. Keduanya berhadap-hadapan dengan jenis tatapan berbeda. Bianca dengan tatapan merindu, sedangkan pria itu menatapnya marah.

Pria itu memalingkan wajah sambil menggumam pelan. Namun dari jarak kurang 2 meter ini, Bianca dapat mendengar pria itu menyebut nama 'Panji'.

Bianca menunduk, dan melihat rangkaian bunga karyanya yang tengah ia bawa.

11 rangkaian bunga untuk acara lamaran?

Bara yang akan melamar?

Bianca menelan apapun yang ingin keluar dari tenggorokannya. Dia tidak boleh menangis di sini.

Bianca mengangkat wajah dan menemukan Bara yang tengah menatapnya intens. Bianca kembali memaksakan senyum tipisnya.

"Pasti kamu yang pesan 11 bunga itu? Ini yang terakhir. Selamat, ya."

Bianca pantas bertepuk tangan karena berhasil bicara dengan nada biasa tanpa ada sirat luka.

Bara menerima rangkaian bunga tersebut dari Bianca. Berbeda dengan Bianca yang tidak berani menatapnya langsung, Bara justru terus memperhatikan Bianca.

"Kamu gak jadi dokter." Itu pernyataan.

Bianca menatap Bara datar. "Ya. Seperti yang kamu lihat."

Keduanya terdiam lagi.

"Apa yang terjadi, Bi?"

Bianca menahan debaran jantungnya. Cara Bara menyebut namanya membuat Bianca belingsatan. Demi Tuhan, hanya Bara yang memanggilnya dengan sebutan dan nada seperti itu.

Bianca ingin Bara tahu semua yang ia lalui selama enam tahun terakhir. Bianca ingin Bara memahami apa yang ia rasakan selama Bara pergi. Namun saat melihat rangkaian bunga yang masih dipeluk Bara, Bianca sadar, keadaan sudah berbeda. Perasaan miris membuat Bianca membentengi dirinya kembali.

"Gak ada. By the way, selamat atas lamarannya. Semoga acaranya lancar."

Bianca berbalik kembali ke dalam ruangannya. Setelah menurunkan semua tabir untuk menutup dinding kaca, Bianca langsung duduk berjongkok di balik meja kerjanya. Kepalanya menunduk di atas lipatan kedua tangannya. Ia berusaha meredam semua tangis yang telah ia tahan sejak melihat Bara di tokonya. Dalam hati, ia meneriakkan semua isi hatinya.

Aku menunggu kamu, Bar.

Rasanya sakit, Bar.

Aku kangen kamu.

Aku mau kamu.

Aku selalu menunggu kamu.

Aku mau kita.

Loving You, Hurting MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang