Viona PoV's.
Kak rio menepikan motornya di depan persis rumah lamaku, ralat, rumahku sebenarnya. Aku turun dari motor kak rio dengan wajah datar.
Entah kenapa wajahku jadi datar gini?
Baiklah, aku memang habis menangis di pemakaman, aku juga sudah nangis berhari-hari gara-gara kak rio---tonjok yuk?
Aku masuk duluan ke dalam pagar yang sudah berkarat dan juga goyah, kak rio mengikutiku dari arah belakang. Aku membuka pintu rumah ini, suara pintu yang bergesekkan ini sangat mengekakakan telinga.
Kalau mau di gambarkan ekspresi kak rio adalah, bingung. Wajahnnya dipenuhi kebingungan. Mungkin otaknya sekarang sudah di penuhi dengan seribu pertanyaan, setiap foto-foto masa kecilku dan keluargaku yang di pajang menjadi daya tarik tersendiri untuk kak rio. Kak rio seakan benar-benar tertarik memperhatikkan foto tersebut.
"Vi, ini rumah lo?" Tanya kak rio yang berada di belakangku, aku diam sejenak sebelum menjawab, "iya."
"Empat tahun lalu.. tepat saat keluarga aku merayakan hari pernikahan papa dan mama, Tante vika datang. Saat itu umur tante vika masih terbilang remaja, sekitaran 16 tahun. Kalau gak salah, status tante vika saat itu masih pacar kak rio kan. Tante vika datang dengan membawa kandungan bayi yang di dalam perutnya, lalu tante vika meminta pertanggung jawaban papa. Papa akhirnya jujur pada kami bahwa dia yang melakukannya, dan akhirnya.. mama yang memang sudah mengidap penyakit jantung pun kambuh. Mama terserang jantung karena kaget, pada saat itulah, aku menyaksikan bagaimana detik-detik mamaku meninggalkan dunia." Aku bercerita masih dalam posisi membelakangi kak rio.
Kak rio diam saja, mungkin dia ingin mendengar kelanjutannya, "setelah seminggu meninggalnya mama, papa memenuhi janji tante vika. Papa pun menikahi tante vika, 5 hari setelah pernikahan, papa ingin menjual rumah ini dan pindah rumah ke tempat lain. Tapi aku menolak itu semua, aku gak mungkin menjual rumah kenangan bersama mama ku ini kepada orang lain. Lagi pula, ini lah kenangan terakhir yang aku punya. Dan rumah inilah tempatku tertawa dan berduka, jadi aku tak mungkin menjualnya. Akhirnya papa setuju agar rumah ini tidak di jual dengan syarat, aku harus ikut dengan papa dan tante vika di rumah baru mereka. Mau tidak mau aku mengikuti syarat itu. Sampai akhirnya, rumah ini terbengkalai, tidak ada yang mengurusi. Kondisinya ya seperti ini, sudah rapuh, kotor, banyak debu, dan berantakan. Tapi aku tidak pernah ngerasa gak nyaman di rumah ini, aku selalu nyaman bagaimana pun itu. Karena aku sadar, rumah inilah tempat aku berpulang.. " ujarku dengan panjang lebar, akhirnya air mataku sukses menetes juga.
Kak rio masih diam saja, tiba-tiba suara ponsel berdering. Ternyata itu suara ponselnya kak rio. Kak rio mengangkat telepon itu. Aku tidak mendengar percakapan apa yang ada di dalam telepon itu. Tapi aku tahu kalau yang menelepon itu, bunda.
"......"
"Udah mah."
"......"
"Iya ini rio lagi sama viona."
"....."
"Iya mah."
"....."
"Dah."
Kak rio menutup ponsel itu dan kembali memasukkan nya dalam saku, lalu kak rio beralih menatapku yang kini sudah berhadapan dengannya.
"Mama---maksudnya bunda, dia suruh lo datang ke rumah gue." Kata kak rio.
Aku mengernyitkan dahi, "untuk apa?"
"Gak tahu. Yang jelas, lo di suruh datang." Balas kak rio.
Aku mengangguk,"yaudah."
Singkat cerita, akhirnya aku sampai di rumah kak rio yang megah nan besar itu. Aku sudah pernah berkunjung kesini sebelumnya---ingat gak waktu aku di suruh-suruh? Kalau ingat. Tolong lupakan saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Devil Prince [Segera Terbit]
Teen Fiction"lo suka kan sama gue? mulai sekarang, kita pacaran." -Rio. gimana sih, rasanya nunggu laki-laki yang kamu suka dari kelas 1 SMP, lalu baru menembak secara terang-terangan saat kelas 1 SMA?! deg-degan tau. itulah yang aku rasakan saat ini, tapi, te...