2. Teman?

2.4K 224 16
                                    

Aku bergegas menuruni tangga, mempercepat langkah menuju ke dapur. Kulihat Ibu sedang menata piring di atas meja, sedangkan Ayah duduk manis sambil mengamati Ibu.

"Pagi, Ayah, Ibu." Aku menarik kursi dan duduk di sebelah ayahku.

"Pagi, anak ayah. Gimana kuliahnya kemarin?"

"Lancar. Minggu ini kami hanya membahas tentang kontrak perkuliahan." Aku menyerahkan piring kosong pada Ayah.

"Kuliah yang benar, ya. Jangan macam-macam."

Aku mengangguk diiringi senyuman yang mengembang.

"Sudah punya teman, belum?" tanya Ibu.

"Teman? Ayah dan Ibu adalah teman terbaik untukku."

"Maksudku, teman kuliah."

"Belum," jawabku singkat.

Apa itu teman? Aku tidak memahami maknanya. Apabila teman adalah kata yang digunakan untuk menyebut seseorang yang selalu bersama-sama dengan kita dalam suka maupun duka, maka aku tak pernah memilikinya. Hanya Ayah dan Ibu yang senantiasa ada saat aku butuh. Itupun karena keduanya adalah orang tuaku. Mereka memiliki kewajiban untuk menjagaku. Seandainya, mereka bukan orang tuaku. Akankah kepedulian itu ada?

"Makan yang benar, jangan buru-buru." Ibu memberi peringatan.

Aku hanya mengacungkan jempol.

"Mau Ayah antar?" Ayah bertanya begitu aku bangkit dari kursi. Dia menawarkan diri untuk mengantarku ke kampus.

"Tidak usah, aku berangkat pakai sepeda." Aku menyalami tangan ayah dan ibuku.

"Aku pergi, assalamualaikum."

Aku mengeluarkan sepeda dari garasi, lalu meletakkan tas pada keranjang di dekat setir. Setelah siap, aku pun mulai mengayuh pedalnya. Udara sejuk menemani perjalananku, semburat kuning keemasan yang muncul di Ufuk Timur menambah keindahan alam pagi ini.

Tak selang berapa lama, aku tiba di halaman parkir gedung Fakultas Sastra. Aku mengitarkan pandangan ke segala arah. Nampaknya kampus masih sunyi karena hanya ada beberapa buah kendaraan yang mengisi lahan parkir. Sepertinya aku terlalu cepat datang. Mungkin ini yang disebut sebagai semangat juang mahasiswa baru.

Aku melangkah menuju ke lantai 2. Langkah kakiku bergerak secara perlahan menaiki anak tangga. Aku menelusuri koridor yang terlihat sepi, mencari sebuah ruangan bertuliskan 218.

"Loh? ini 'kan kamar mandi," gumamku bingung begitu membuka pintu.

Apa aku salah lihat jadwal? Aku mengecek kembali jadwal kuliah yang terdapat dalam ponselku. Tetapi aku tidak menemukan keanehan apapun. Dalam jadwal jelas tertera bahwa kuliah dilaksanakan di ruangan 218.

Mungkinkah, kuliahnya dilaksanakan di kamar mandi? Mungkin ada suatu ruangan rahasia dibaliknya. Tapi, kenapa tidak ada orang di sini? Lebih baik aku menunggu saja.

"Hei, apa yang kamu lakukan di situ?"

Aku berjengkit kaget saat mendengar suara seseorang dari belakangku. Segera aku membalikkan badan dan menatap orang itu.

"Aku sedang berdiri."

"Di depan pintu? Kamu menghalangi jalanku."

"Maaf." Dengan cepat aku bergeser ke samping.

Dia mengernyitkan dahi memandangku, kemudian beranjak pergi dari hadapanku.

"Anu," aku berseru padanya.

"Kamu memanggilku?"

Aku mengangguk cepat.

"Apa di kamar mandi ada ruangan rahasia?"

"Hah?! Kamu ini bicara apa."

"Dalam jadwalku tertulis kalau kuliah dilaksanakan di ruangan 218."

"Kamu mahasiswa baru?" tanyanya sembari tersenyum geli.

"Iya."

"Kayaknya mereka salah ketik."

"Salah ketik?"

"Biasalah, yang bekerja juga manusia bukan malaikat. Namanya manusia tidak luput dari kesalahan."

Kenapa kelemahan senantiasa dijadikan sebagai dalih pembenaran? Bukankah terdapat banyak penyebab yang tepat untuk menjadi sebuah alasan. Bisa jadi, seseorang sedang mengantuk saat menyelesaikan amanahnya sehingga muncul kekeliruan.

"Lalu aku harus bagaimana?"

"Kalau mau, kamu bisa mengikutiku."

"Kenapa aku harus?"

"Aku tidak memaksamu," ujarnya singkat. Kemudian berjalan pergi meninggalkanku.

"Tunggu!"

Aku berjalan cepat mengekor di belakangnya, kami berada dalam jarak sekitar 1 meter. Sepanjang perjalanan kami berdua hanya terdiam tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Hingga orang itu memasuki sebuah ruangan bertuliskan 208 aku masih mengikutinya.

"Kenapa sepi?"

"Karena belum ada orang."

"Ini sudah pukul 7.30 WIB tapi mereka belum muncul." Aku melirik jam yang melingkar di pergelangan tanganku.

"Kamu yakin?"

"Ya ampun, ternyata jam ini sudah rusak." Aku menepuk dahi.

Dia malah menertawakanku.

"Asal kamu tahu, sekarang masih pukul 6.30 WIB. Kamu amat sangat rajin," ujarnya penuh penekanan.

"Terimakasih."

Aku mengucapkan terimakasih karena dia sudah mau repot-repot memujiku. Terlebih aku sama sekali tidak merasa kalau aku adalah seseorang yang rajin seperti yang dia katakan.

"Lalu, kenapa kamu masih ada di sini?"

"Kamu mengusirku?"

"Aku hanya mengingatkan."

"Kamu tidak mengingatku, ya? Aku ini temanmu."

"Maaf?" Aku memandangnya dengan dahi yang semakin berkerut.

Apa aku tidak salah dengar? Aku tidak memiliki seorang temanpun di kampus ini.

"Hamba Allah, kamu ingat?"

Bagaimana kita bisa berteman? Sementara aku sama sekali tak mengenalmu.

Hamba Allah, itukah namamu?

-TBC-

a.n 03 September 2017

Anonim | ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang