"Kamu belum mengembalikan flashdisk punyaku, Putri. Ada file skripsi yang harus segera kurampungkan di dalamnya."
Putri terkekeh ringan. "Kamu sungguh perhitungan. Ini sudah tahun 2016, apa susahnya beli lagi?"
Aku berhenti, kemudian menghadap ke arahnya. Melotot.
Putri semakin tertawa kencang. "Bercanda."
"Aku tidak mau tahu, flashdisk itu harus kembali hari ini!"
"Bukannya kamu punya salinan file skripsi di laptop? Kenapa harus terburu-buru?"
"Ya ... pokoknya harus kembali! Ada file penting lain di dalamnya." Aku berdehem untuk menetralisir rasa gugup yang tiba-tiba saja melandaku.
Sesungguhnya file skripsi hanya alasan. Aku tidak mungkin membiarkan file sepenting itu tanpa backup. Namun, ada sesuatu yang tak kalah penting di dalamnya. Sebenarnya bukan hal krusial, tapi aku malu kalau ada orang lain yang melihatnya.
"Wajahmu panik, Anonim. Apa file yang kamu maksud berjudul ... Hamba Allah?" tanya Putri dengan pandangan menyelidik.
"Uhuk!" sontak aku terbatuk mendengar ucapannya. Bola mataku membulat, mulutku sedikit terbuka. Aku menatap horor wajah Putri. "Kamu sudah baca?"
Putri mengangguk mantap. "Tentu saja. Judulnya sangat membuatku penasaran. Lebih menarik daripada file lainnya yang kebanyakan berjudul; skripsi revisi, skripsi revisi satu sampai revisi sepuluh. Aku jadi penasaran, sebenarnya kamu yang bodoh atau dosennya yang memang hobi?"
Sontak aku langsung memukuli Putri. Dia ini tidak pernah berubah. Masih saja bermulut tajam meski kami sudah berteman.
"Hahahah ... hei, hentikan! Ada hal yang ingin kusampaikan," tukasnya sambil menahan tanganku.
"Apa?" sahutku ketus.
Putri tersenyum lebar. Terlalu lebar hingga tampak menyeramkan. Senyum yang tak biasa. Sungguh mencurigakan.
"Aku sudah selesai membacanya. Setelah kupikirkan secara saksama, aku merasa tertarik dengan ceritamu. Kamu menuliskannya sangat apik, banyak informasi yang kuperoleh dari sana. Ternyata perkenalan kalian memang tidak biasa. Aku sebagai orang yang pernah menyukainya, ikut terhanyut dalam ceritamu. Kamu mendeskripsikan Abdullah dari sudut pandangmu sendiri. Sosok misterius berhati malaikat. Dia teman yang baik, bukan?"
Aku hanya bisa diam. Tak tahu harus bereaksi seperti apa. Bahagia karena dia memuji karyaku atau bersedih karena dia kembali mengingatkan aku tentangnya.
"Sampai sekarang aku tak tahu bagaimana perasaanmu padanya. Kamu selalu bilang hanya menyukainya sebagai teman. Akan tetapi, setelah membaca kisah yang kamu tulis, aku mampu memahami satu hal, bahwa kamu ... mungkin telah jatuh cinta padanya. Kamu ingin menuliskan rasamu dalam sebuah karya. Mewakili lisanmu yang tak sempat untuk berucap dan hati yang tak sanggup mencecap makna. Anonim, jujurlah bahwa kamu merindukannya."
Pandanganku mengabur. Jantungku berdenyut nyeri. Nafasku tercekat di tenggorokan. Aku terkelu. Tak bisa mengelak dari kenyataan itu.
Aku memang sangat merindukannya. Diam-diam dalam kesendirian, aku selalu menuliskan tentangnya. Tentang dia dan segala sikapnya padaku dulu. Semua kulakukan agar aku tak lupa bahwa sosok istimewa itu pernah hadir dalam hidupku. Meski hanya sesaat, tapi dia berhasil menorehkan warna yang teramat pekat. Hingga aku tak mampu untuk menghapusnya.
"Diam berarti iya," tukas Putri. "Karena itu aku memutuskan untuk mengabadikan kisahmu. Aku mengirim naskahmu pada penerbit. Tenang saja, aku sudah menyuntingnya. Judulnya kuubah jadi Anonim karena kamu adalah tokoh utamanya. Aku memang calon editor handal!" serunya bangga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Anonim | ✔
Spiritual[Chapter lengkap] Ini tentang Anonim yang berusaha menemukan makna hadirnya di dunia. Lewat tiga pertanyaan besar yang selalu menghantui pikiran. Dari mana manusia berasal? Apa tujuan hidup di dunia? Setelah meninggal, ke mana manusia akan pergi? Su...