23. Siapa mereka?

1.1K 155 20
                                    

Aku membasuh wajah menggunakan air yang tersedia di halaman rumah. Sebuah keran air yang biasa dipakai Ibu untuk menyiram bunga. Aku tidak mungkin membiarkan orang lain melihat wajahku yang berantakan karena air mata. Setelah selesai, aku pun melangkah mendekati pintu rumah.

Kuputar kenop pintu secara perlahan. Biasanya jam segini ibu sudah fokus bereksperimen di dapur kesayangannya. Sedangkan ayah masih di kantor menyelesaikan pekerjaannya.

"Bu?" panggilku sembari menutup pintu. Kulangkahkan kaki menuju ke dapur untuk mencari keberadaannya.

"Anonim? Kenapa kamu pulang terlambat?"

"Tadi ada yang harus Anonim urus, Bu," ucapku seraya mencium tangan Ibu.

"Urusan apa?"

"Ya biasalah, Bu. Urusan mahasiswa."

Aku merasa bersalah karena sudah berbohong padanya. Tapi aku tidak punya pilihan lain. Mana mungkin aku bilang Anonim usai menguntit teman.

Eh, tapi kalau dipikirkan lagi. Sepertinya aku tidak berbohong. Itu memang urusan mahasiswa, kan? Karena aku dan dia adalah mahasiswa.

Entah mengapa aku merasa lega setelah mendapatkan pembenaran yang meyakinkan.

"Bukan apa-apa, Nak. Tapi kasihan temannya sudah menunggu sedari tadi."

"Teman? Siapa?"

Itu pasti bukan dia. Apa urusannya sampai harus ke rumahku? Lantas kalau bukan dia, siapa lagi? Hanya dia seorang temanku.

"Risa,"

Risa? Bagaimana dia bisa sampai di sini?

"Dia ada di mana?"

"Di kamarmu."

"Apa?! Kenapa dia bisa ada di sana?" seruku terkejut.

"Ibu yang  menyuruhnya karena aku harus menyiapkan makan malam."

"Kenapa harus di kamarku, Bu?"

Ah, aku tidak suka ada orang yang memasuki kamar tanpa ditemani olehku. Itu adalah ruangan paling nyaman yang bisa kumiliki. Setidaknya saat berada di dalamnya aku tidak merasa sedang diperhatikan oleh manusia lain.

"Kenapa? Dia 'kan temanmu," timpal ibu santai.

Bikin kesal saja. Mau marah tidak bisa, karena dia adalah orang tuaku.

"Benarkah? Kalau begitu aku akan mengajak Abdullah main ke kamarku."

"Apa?! Jangan bercanda, Anonim. Abdullah adalah laki-laki. Dia punya batasan denganmu," jawabnya sambil menatap wajahku.

"Lalu Risa? Laki-laki atau perempuan sama saja. Mereka adalah manusia."

Setelah mengucapkan kalimat itu, tanpa menunggu respon Ibu, aku langsung berlalu dari hadapannya.

"Anonim, jangan kasar sama tamu!" Samar-samar kudengar suara Ibu memperingatiku.

Tak selang berapa lama, aku sudah tiba di depan kamarku.

Saat aku membuka pintu, Kulihat Risa sedang duduk santai di atas kursi sembari membaca sebuah buku. Dia adalah orang yang sama dengan yang membantuku memahami kebenaran Tuhan tempo hari. Kalau begini ceritanya, aku tidak bisa marah. Karena biar bagaimanapun, dia pernah membantuku.

Aku berjalan cepat ke arahnya.

"Apa yang kamu lakukan di sini?" tanyaku to the point.

"Baca buku," ucapnya seraya mengangkat buku di tangannya.

"Kamu hanya ingin baca buku? Ada banyak tempat yang bisa kamu pakai, selain kamarku."

Risa malah tersenyum.

"Aku yakin ada hal penting yang hendak kamu tanyakan. Yakin masih mau marah?"

Sial, sekarang aku merasa terpojokan. Ada apa ini? Rasanya aku pernah menghadapi orang sepertinya.

"Uhm, ini sudah menjelang malam. Sebentar lagi akan azan maghrib. Kamu tidak pulang?" ujarku, mengusirnya secara halus.

"Nampaknya ibumu belum mengatakannya, ya?"

"Apa?"

Risa tersenyum simpul seraya menepuk tas ransel yang ada di atas meja.

"Aku akan menginap di sini."

Dan aku tak bisa berkata-kata.

Ya ampun, lelucon macam apa ini? Perlahan tapi pasti, orang-orang baru muncul dalam hidupku.

Siapa sebenarnya mereka?

-TBC-

06 November 2017

Anonim | ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang