Hari ini sepulang kuliah, Putri memaksa untuk berkunjung ke rumahnya. Dengan iming-iming ingin mengabarkan informasi tentang Abdullah. Tentu aku tidak akan menolak. Kapan lagi aku bisa mengorek fakta dari informan terpercaya? Ini bukan berarti aku tergila-gila akan informasi tentang dia. Aku hanya sedikit penasaran.
Aku memandang terkesima rumah bercat biru di seberang jalan tempatku berdiri. Aku menggeleng tidak percaya. Sungguh sebuah kenyataan yang tak terduga. Teramat mengejutkan untuk sebuah fakta baru.
"Hei, Anonim! Sampai kapan kamu mau berdiri di situ?"
Suara seseorang membuyarkan keterkejutanku. Segera aku merapikan pakaian, lalu berjalan cepat ke arah pagar besi yang terpasang kokoh mengelilingi rumah itu. Tidak terlalu tinggi, hanya sebatas dagu orang dewasa.
"Kenapa mukamu begitu?" tanya Putri begitu aku sampai di depan pagar. Dia membuka pintunya, kemudian menyuruhku masuk.
Aku menggeleng pelan. "Aku tidak menyangka kalau ternyata kita tinggal di kompleks yang sama. Hanya berbeda blok saja."
Putri berhenti, dia memutar badan, menoleh padaku. "Apa kamu bilang? Memangnya dia tidak pernah memberitahumu?" tanyanya dengan wajah berkerut.
Aku mengangkat alis. "Siapa? Abdullah? Dia tinggal di bumi Allah, katanya."
Putri tertawa renyah. "Dia itu benar-benar! Kalau kamu mau tahu, di seberang jalan sana adalah ramahnya."
Aku memutar kepala, mengikuti arah telunjuk Putri. "Rumah putih itu?" gumamku dengan wajah terperangah.
Rumah yang letaknya tepat di depan rumah Putri? Mereka hanya terpisah oleh jalan setapak.
Sekarang aku paham mengapa dia sering melewati jalanan yang sama denganku. Alasan mengapa dia bisa berada di taman kompleks kala itu. Dia yang tahu di mana letak rumahku. Ternyata selama ini kami tumbuh di tempat yang sama, bertetangga pula. Apa yang sudah kulakukan hingga aku tak tahu apa pun? Salahnya sendiri yang tak pernah memberi tahuku.
"Sudah, tidak usah dipandang melulu, dia tidak akan muncul dari sana." Secara mendadak Putri menarik tanganku. Memaksaku untuk menyeimbangi langkahnya.
Aku hanya diam tak memberi respon apa-apa. Tak ada gunanya membahas tentang itu. Aku datang ke sini untuk mencari informasi. Jadi, segala sesuatu yang mungkin mengalihkannya harus diabaikan.
"Tunggu di sini, aku mau ganti baju sebentar, kemudian menyiapkan minum. Kamu mau minum apa?" Putri menyuruhku duduk di atas sofa. Melihat dari segi penataan, aku menebak kalau ini merupakan ruang tamu.
"Es teh."
"Hah? Kamu pikir di sini rumah makan? Aku ambilkan soda saja, ya?"
Aku melotot. Seharusnya dia tidak perlu bertanya!
Putri terkekeh. "Aku bercanda. Tunggu ya, jangan kemana-mana," ujarnya sebelum berlalu pergi.
Aku mengitarkan pandangan ke seluruh penjuru ruangan. Rumah Putri lumayan luas dan tertata rapi. Beberapa guci keramik diletakkan di sudut ruangan. Dua set sofa memenuhi ruangan ini. Bunga hias menjadi satu-satunya penunggu meja.
Aku tersenyum tipis. Jadi begini rasanya berkunjung ke rumah teman sepulang dari kampus atau sekolah. Kupikir aku takkan pernah bisa merasakannya seumur hidupku. Siapa sangka Putri menjadi orang pertama yang bisa merealisasikan sesuatu yang kupikir hanya sebatas fiktif.
Aku mungkin belum sepenuhnya melupakan ungkapan kasar yang pernah dia lontarkan. Tapi, aku juga tidak mampu menutup mata dari usaha yang Putri perbuat untuk berteman denganku. Sedikit banyak aku ingin memiliki teman sepertinya. Lumayan, bisa diajak adu mulut.
Kalau aku menerima seseorang sebagai teman, berarti aku harus siap dengan kehilangan? Benar. Setelah penjelasan Putri siang tadi, aku memperoleh pencerahan. Aku harus mencoba berdamai dengan rasa sakit. Rasa sakit akibat kehilangan, kesepian, kesendirian, dan sebagainya. Toh pada akhirnya kita juga akan sendirian di alam barzakh. Berpisah dengan gemerlap dunia. Menanti keputusan dikehidupan selanjutnya.
"Ini untukmu!"
Aku tersentak kaget saat Putri tiba-tiba muncul di hadapanku. Dia membawa sebuah nampan berukuran sedang di tangannya.
"Jangan melamun. Bahaya kalau kamu kerasukan di sini, takkan ada yang menolongmu. Semua penghuni rumah sedang keluar," ucapnya sambil menaruh nampan di atas meja.
Terdapat dua gelas es teh, satu toples nastar keju, dan apa itu? Bingkai foto?
Putri mengambil bingkai tersebut, lalu menyimpannya di pangkuan.
Aku hanya mengedikkan bahu tak acuh. Kalau memang itu berkaitan dengan apa yang akan disampaikan, pasti dia sendiri yang akan menunjukkannya.
"Memangnya mereka ke mana?" tanyaku penasaran. Pantas saja aku tak merasakan kehadiran orang lain selain kami di rumah ini.
"Ayah dan Ibu mengunjungi nenek di kampung. Kudengar kamu kenal Kak Risa. Sekarang dia ada di Yogyakarta, berencana melanjutkan pendidikannya di sana."
Aku mengangguk paham. "Memangnya dia sudah wisuda?"
"Belum, wisudanya masih bulan Mei. Katanya sih pengen tinjau lokasi," sahut Putri sambil mengedikkan bahu.
Kemudian kami terdiam. Aku bingung harus berbicara apa. Ini kali pertama kami mengobrol tanpa melibatkan emosi. Terasa canggung, tapi aku menikmatinya.
"Putri," panggilku pelan. Sesungguhnya aku sangat penasaran dengan pakaiannya sekarang. Dia masih memakai gamis dan kerudung. Sama seperti penampilannya di kampus.
"Kamu sendirian di rumah? Kenapa pakaianmu-"
"Sebenarnya tidak benar-benar sendiri." Putri memotong kalimatku. "Ada orang lain," gumamnya pelan.
"Siapa?"
"Apa yang kalian lakukan di sini?"
-TBC-
A/N: Ayo... siapa yang tinggal bareng Putri? 😉
Umul Amalia,
28 Desember 2017.
KAMU SEDANG MEMBACA
Anonim | ✔
Espiritual[Chapter lengkap] Ini tentang Anonim yang berusaha menemukan makna hadirnya di dunia. Lewat tiga pertanyaan besar yang selalu menghantui pikiran. Dari mana manusia berasal? Apa tujuan hidup di dunia? Setelah meninggal, ke mana manusia akan pergi? Su...