"Tak kusangka kamu mampu mengikuti alur yang kami ciptakan."
Aku memiringkan badan, menoleh ke kanan tatkala mendengar suara seseorang yang tidak asing lagi di telingaku. Kulihat Putri duduk dengan kaki berselonjor tengah memakai sepatunya. Saat ini kami ada di pelataran masjid usai melaksanakan salat Zuhur.
"Terimakasih," sahutku singkat seraya bangkit dari lantai, lalu menepuk-nepuk gamis guna membersihkan debu yang mungkin menempel.
Putri mendecih.
Aku mengerutkan dahi. Tadi dia memujiku, kan? Lalu apa salahnya bila aku berterimakasih?
"Aku duluan, assalamualaikum."
"Eh, tunggu dulu!"
Aku berhenti begitu Putri menahan ujung gamisku. Berputar, menghadap sempurna ke arah Putri.
"Ada apa?" Aku mengangkat tinggi alis. Tumben dia mau lama-lama mengobrol denganku. Terlebih, dia sendiri yang memintanya. Apa Putri merencanakan sesuatu?
"Kita bareng, kamu mau pergi ke kelas selanjutnya, kan?" tanyanya seraya bangkit berdiri.
Aku memicingkan mata. Ini benar-benar sesuatu yang mencurigakan. Patut untuk diwaspadai. Atas dasar apa dia mengajakku bersama? Hanya berdua?
"Alah, kebanyakan berpikir. Ayo jalan," ajaknya sambil menarik pergelangan tanganku.
Aku semakin membulatkan mata mendapati tingkah laku Putri. Hari ini dia sungguh aneh. Dia ini kenapa? Sesuatu hal baik mungkin terjadi padanya, tapi aku tidak boleh percaya begitu saja. Bisa jadi dia berniat buruk padaku. Melihat track record-nya selama ini, tidak menutup kemungkinan dia akan menyakitiku.
"Hei! Putri lepaskan!" Aku menyentak tangannya begitu kami keluar dari halaman masjid.
Masih di sekitar masjid, di bawah pohon cemara yang tumbuh tidak jauh dari sana, kami berdiri saling berhadapan.
"Aku tidak tahu apa tujuanmu, tapi tingkah lakumu sangat mencurigakan."
Putri malah tertawa sinis. Senyum miring tersungging di bibirnya. Lihat, kan? Sebentar lagi pasti akan menyusul kalimat pedas yang siap terlontar dari lisannya.
"Apa kamu tidak bisa berhenti mencurigai orang lain?" tanyanya sambil melipat tangan di dada.
Aku menghembuskan napas kasar. "Berhenti katamu? Bagaimana bisa? Setelah apa yang terjadi selama ini, kamu pikir kelakuanmu hari ini merupakan sesuatu yang wajar?"
"Oke oke, selama ini aku memang salah. Terkadang aku menghinamu," ucapnya sambil melepaskan sedekapnya. Sekarang dia berdiri tegak dengan kedua lengan menggantung di masing-masing sisi badannya.
"Ralat. Bukan kadang, tapi sering. Dan bukan hanya kamu, tapi kalian semua! Kalian selalu menganggapku aneh. Memangnya apa salahku? Hanya karena sebuah nama kalian membuatku terlihat berbeda!" seruku dengan napas memburu.
Aku membuang muka, mengatur ritme pernapasan, lalu melemaskan bahuku yang terasa tegang.
Aku kenapa? Tanpa bisa dicegah, aku mengeluarkan segala kesah yang kian hari kian membendung di dalam dadaku. Di hadapan Putri? Orang yang terlihat sangat membenciku. Sepertinya aku tertular sikap aneh gadis itu.
"Hah?! Apa kamu bilang? Kami membencimu hanya karena nama?" Putri memajukan kepalanya ke arahku. Kemudian dia tertawa sangat kencang. "Kamu gila? Sebegitu buruk penilaianmu tentang kami?" Putri berdehem untuk menghentikan tawanya.
"Kamu kenapa sih?!" sahutku ketus. Sungguh menyebalkan. Rasanya kalimat panjang lebar yang tadi kujabarkan menjadi tidak berguna setelah mendengar suara tawanya.
"Begini Anonim, apa kamu sama sekali tak merasa aneh?" tanyanya sambil mengangkat sebelah alis.
"Hah?!"
"Coba kamu ingat-ingat lagi pertemuan pertama kita. Awal perkuliahan semester ganjil. Coba kamu pikir, apa penyebab kami mengasingkanmu?"
"Mana aku tahu!"
Putri berdecak, lalu memutar bola mata. "Benar. Kamu tidak tahu dan tidak pernah mau tahu karena sesungguhnya kamu hanya sibuk dengan duniamu, Anonim."
"Apa maksudmu? Kalianlah yang mengasingkanku!"
Putri menghembuskan napas panjang. "Kamu yakin?" tanyanya sambil tersenyum tipis. "Kuakui kami memang merasa aneh mendengar namamu, tapi hanya sebatas itu. Kami justru terhibur dengan kelakuanmu. Kamu lucu, itu kesan pertama yang kami dapat saat kamu memperkenalkan diri pada hari pertama. Beberapa dari kami mungkin terkesan dengan keberanianmu kala itu."
Hari pertama? Maksudnya saat kelas Pak Robert?
"Kamu berbeda, itulah yang kami pikirkan. Tapi seiring berjalannya waktu, sikapmu semakin menjadi. Yang awalnya kami pikir adalah sebuah keberanian malah berganti menjadi sikap tidak sopan. Bu Ani, Bu Rana, dan beberapa dosen lainnya. Apakah kamu pikir sikapmu merupakan sesuatu yang pantas dimiliki mahasiswa? Oke, kita memang berhak mengemukakan pendapat, tapi bukan dengan cara menyakiti orang lain. Terakhir, kamu selalu menyimpan kecurigaan pada kami. Seperti saat ini contohnya. Daritadi kamu menatapku penuh curiga."
"Apa maksudmu? Kalianlah yang menyakitiku. Pertama, Kamu masih ingat saat aku bertanya tentang Pencipta? Kalian menyerang seolah aku adalah musuh yang harus dihancurkan. Kedua, saat pembagian kelompok kalian juga menghinaku. Menolak dengan kalimat yang kasar. Hanya Abdullah yang menerima tatkala semua orang mencaciku. Dan kamu masih mau bilang kalau aku yang bersalah? Apa salah bila aku bersikap defensif terhadap mereka yang berpotensi untuk menyakiti?"
Putri menatapku tanpa berkediap, lalu dia mengusap wajahnya. "Maaf, saat itu kami memang salah."
"Sudahlah, Put. Kalau kamu pikir kejadian ini hanya terjadi saat kuliah, berarti kamu salah besar. Aku sudah terbiasa dengan keadaan begini. Kamu bilang aku egois dan penuh curiga. Ya, aku memang begitu. Aku tahu dengan baik seperti apa sikapku selama ini, dan aku tak pernah menyesal atasnya." Aku menghembuskan napas berat. Menunduk memandangi jalan beraspal. Tak kusangka akhirnya hari ini tiba juga. Saat dimana aku mampu untuk bersuara tentang luka dan patah.
"Kamu tahu kenapa aku egois? Karena aku tak pernah bersama orang lain, kecuali ayah dan ibuku. Mereka yang terbiasa bersosialisasi terkadang juga masih bersikap egois. Lantas bagaimana dengan aku yang jarang bahkan hampir tak pernah berkawan?"
Putri masih diam tak bergeming. Aku sendiri enggan untuk mendongak dan mengamati ekpresinya saat ini. Terlalu berat rasanya berbicara sambil menatap matanya.
"Kamu tahu kenapa aku penuh curiga? Karena aku terlalu sering menerima luka. Mereka yang jarang patah terkadang juga masih menyimpan curiga. Lantas bagaimana dengan aku yang bermain dengan duka?" Aku tersenyum diakhir kalimat. Dialog ini harus segera diakhiri sebelum sesuatu yang lebih jauh terjadi. "Sudah selesai, kan? Kalau begitu, aku pergi."
-TBC-
A/N: 6 part menuju ending...
Ada nggak yang bisa menebak akhirnya? 😉Umul Amalia,
26 Desember 2017
KAMU SEDANG MEMBACA
Anonim | ✔
Spiritual[Chapter lengkap] Ini tentang Anonim yang berusaha menemukan makna hadirnya di dunia. Lewat tiga pertanyaan besar yang selalu menghantui pikiran. Dari mana manusia berasal? Apa tujuan hidup di dunia? Setelah meninggal, ke mana manusia akan pergi? Su...