Saat membalikkan badan, mataku membulat, mulutku menganga lebar. Aku tersentak kaget tatkala menemukannya berdiri di belakangku.
Tatapan matanya menatapku lurus. Dia tersenyum miring seraya berkata, "kamu mencariku?"
"Ahh ..."
Tanpa berpikir panjang, aku kembali menutupi wajahku menggunakan topeng. Bagaimana caranya di tahu? Sepertinya misiku gagal.
"Percuma saja. Aku sudah melihatmu," ujarnya sambil geleng-geleng kepala.
Uh, benar juga apa yang dia katakan. Aku justru akan terlihat semakin konyol kalau masih memakai topeng ini. Akhirnya aku memutuskan untuk melepas topeng anbu itu.
"Bagaimana kamu tahu?" tanyaku penasaran.
"Setidaknya kamu harus menggunakan penyamaran yang lebih manusiawi."
Manusiawi? Tanpa memakai topeng pun aku sudah menjadi manusia.
"Sebenarnya kamu itu siapa?"
Nampaknya satu-satunya jalan untuk mengenalnya adalah dengan bertanya langsung.
"Hamba Allah."
Aku tahu. Dia selalu mengatakan hal yang sama bila aku bertanya tentangnya.
"Maksudku, siapa orangtuamu? Di mana kamu tinggal? Dan sesuatu sejenis itulah."
Dia memasukkan sebelah tangannya ke dalam saku celana. "Untuk apa kamu menanyakan nama orangtua dan tempat tinggalku? Mau melamar?" ujarnya sembari mengangkat tinggi alisnya.
"Mana mungkin begitu!"
Dia sungguh menyebalkan. Bagaimana cara untuk mengenalnya? Nampaknya semua yang kulakukan selalu gagal.
"Aku ganti pertanyaannya. Kenapa ... kamu selalu mengatakan bahwa dirimu adalah hamba Allah?" gumamku sambil menatap wajahnya.
"Karena aku adalah makhluk yang diciptakan oleh Allah. Sehingga sangat wajar bila aku menjadi hamba-Nya. Bukan hanya aku, tapi kamu, mereka, dan kita semua adalah hamba Allah. Tugas kita adalah mengabdi dan menyerahkan diri sepenuhnya hanya kepada Allah. Lagipula, namaku sendiri berarti hamba Allah."
Aku mencerna setiap ucapannya. Kita semua adalah hamba Allah? Dan tugas kita adalah mengabdi kepada-Nya? Lalu setelah itu apa? Apa yang akan terjadi kalau kita tidak mau menghamba kepada-Nya?
Penuturannya kembali memunculkan pertanyaan baru dalam benakku. Kalau sudah begini, pada siapa lagi aku harus bertanya?
"Uhm ... Abdullah," panggilku pelan.
"Hm?"
"Izinkan aku untuk menjadi muridmu!" ucapku lantang sambil membungkuk.
"Hah?! Kamu ini ..." timpalnya seraya mengibaskan tangan.
"Kamu mau?" pintaku penuh harap.
"Tidak."
"Kenapa? Kamu harus bertanggungjawab atasku!"
"Hei! Memangnya apa yang kulakukan?"
"Kamu membuatku bingung dan penasaran."
"Benarkah? Kalau begitu, aku berhasil," timpalnya sambil tersenyum riang.
"Apa maksudmu?"
"Lupakan saja!" Dia menengadahkan tangannya. "Mana ponselmu? Aku akan merekomendasikan seseorang yang bisa menjawab segala kebingunganmu."
Tanpa menunggu lama, aku segera menyerahkan ponselku padanya.
"Nih, kuharap itu bisa membantumu." Abdullah mengembalikan ponsel itu. "Sudah, kan? Aku duluan."
Dia hendak berbalik membelakangiku.
"Abdullah, tunggu!"
"Ada apa?"
"Anu." Aku melirik kantong kresek yang ada di tangan kirinya. Kantong itu terlalu tipis sehingga aku bisa melihat apa yang ada di baliknya.
"Aku ... minta es krim, boleh?" tanyaku ragu.
Ini aneh. Kenapa aku merasa malu? Padahal biasanya tidak begini.
Abdullah mengerutkan kening menatapku, dia menggeleng pelan, lalu tertawa renyah. "Kamu boleh," ucapnya seraya menyodorkan es krim padaku.
Dan entah mengapa rasanya pipiku menghangat, bertolak belakang dengan benda dingin yang menyentuh telapak tanganku.
-TBC-
jangan ragu vote dan komennya, guys.. :)
29 Oktober 2017
KAMU SEDANG MEMBACA
Anonim | ✔
Spiritual[Chapter lengkap] Ini tentang Anonim yang berusaha menemukan makna hadirnya di dunia. Lewat tiga pertanyaan besar yang selalu menghantui pikiran. Dari mana manusia berasal? Apa tujuan hidup di dunia? Setelah meninggal, ke mana manusia akan pergi? Su...