7. Pencarian (2)

1.8K 195 11
                                    

Pertanyaan orang itu masih berseliweran dalam benakku. Jawaban yang tadi dia lontarkan sangat membantu. Ia membuatku yakin bahwa Tuhan benar-benar ada. Sebab belum ada satu pun makhluk di dunia ini yang mampu menciptakan nyawa.

Kegeniusan manusia memang sungguh luar biasa. Manusia bisa menciptakan robot atau maha karya lain yang menyerupai makhluk hidup khususnya manusia. Akan tetapi, belum ada seorang pun yang mampu membuat hasil karyanya hidup layaknya manusia. Robot misalnya, mereka hanya bergerak sesuai apa yang telah diprogramkan kepadanya. Sementara manusia mampu untuk berekreasi dan melakukan apapun sesuka hati.

Bukankah tandanya Dia yang Menciptakan adalah sesuatu yang berada diluar batas manusia? Dan itulah yang disebut Tuhan.

Lantas, siapakah Tuhan yang sesungguhnya?

"Permisi."

Aku mendongak saat mendengar suara seseorang dari arah samping. Segera aku memutar kepala, menoleh ke arahnya.

"Boleh aku duduk di sini?" tanyanya seraya menunjuk tempat kosong yang ada di sebelahku.

Aku hanya mengangguk.

Pikiranku terlalu fokus memikirkan kebenaran Tuhan hingga aku tak mempedulikan keadaan sekitar. Lagipula, saat ini aku sedang duduk di bangku taman perpustakaan. Jadi, siapa saja bebas untuk menggunakannya.

"Apa ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu?"

Aku melirik orang itu sekilas.

"Kamu berbicara denganku?" tanyaku memastikan.

"Iya. Kuperhatikan sejak tadi kamu terlihat bingung."

Aku memiringkan badan, menghadap padanya. Memicingkan mata, memandangnya curiga. Bagaimana dia bisa tahu? Jangan-jangan dia sengaja menguntitku.

Dan anehnya dia malah terkekeh saat kupandangi seperti itu.

"Aku duduk tepat di depanmu," ucapnya sambil menunjuk bangku yang tak jauh dariku. "Hal wajar untuk saling memperhatikan di tempat ramai begini."

"Ooh..."

"Jadi? Kalau mau kamu bisa menceritakannya padaku. Mungkin aku bisa membantumu."

"Aku tidak yakin," sahutku sambil menggeleng pelan. "Untuk apa kamu membantuku? Kita tidak saling mengenal."

"Aku Risa. Siapa namamu?" Dia mengulurkan tangan.

Aku memandangi tangannya dengan dahi yang berkerut bingung. Sesungguhnya aku merasa heran terhadap orang-orang yang begitu mudah mengajak sesamanya untuk berkenalan. Bagaimana kalau yang diajak adalah seorang kriminal? Bisa jadi orang itu akan berada dalam bahaya.

Ah, terkadang tingkah laku kebanyakan manusia membuatku bingung.

Tanpa kusangka dia menarik tanganku, memaksaku untuk menyambutnya.

"Sekarang kita sudah saling mengenal. Jadi, kamu bisa menceritakan masalahmu."

Sontak aku tertawa.

Semudah itu mengajak orang kenalan?

"Uhm, Baiklah," gumamku. Tidak ada salahnya berbagi dengan seseorang. "Namaku Anonim."

Aku yakin setelah ini dia pasti akan mengatakan kalau aku aneh. Selalu begitu, kan? Mereka mau berteman karena belum mengetahui namaku.

"Anonim? Oke. Kamu bisa mulai bercerita," serunya santai.

"Eh? Kamu tidak masalah ... tentang namaku?" tanyaku terkejut.

Baru kali ini ada orang yang tak mengernyitkan kening saat mendengar namaku. Ralat, dia orang yang kedua setelah laki-laki itu.

Dia menatapku lembut. "Setiap orang berhak menggunakan nama apapun. Aku yakin orangtuamu pasti sudah berpikir matang-matang sebelum memberi nama."

Aku hanya diam mendengarkannya. Mungkin hidupku akan menjadi lebih tenteram bila semua orang berpikir sepertinya.

"Kamu mau cerita?"

Aku mengangguk.

"Sebenarnya aku bingung tentang suatu hal."

"Apa itu?" tanyanya penasaran.

"Apa Allah adalah Tuhan yang sesungguhnya? Maksudku, bukankah semua agama mengklaim bahwa Tuhannya adalah yang benar dan mereka tetap teguh dengan keyakinannya."

Dia tersenyum simpul. "Kamu tahu? Bahwasanya Pencipta telah menciptakan segala sesuatu dari tidak ada menjadi ada. Contohnya adalah kamu sendiri. Sebelum lahir ke dunia, tak ada seorang pun yang tahu keberadaanmu. Iya 'kan?"

Aku hanya mengangguk.

"Pencipta harus bersifat wajib adanya. Sebab kalau tidak demikian, maka dia tidak pantas menjadi Sang Pencipta. Bagaimana bisa menciptakan? Kalau Dia sendiri tak memiliki Keberadaan."

Aku diam mencermati setiap kata yang terlontar dari lisan perempuan itu.

"Kamu pernah melihat orang meninggal? Daun yang gugur dari rantingnya? Tsunami yang menghancurkan sebuah negeri? Atau hal-hal lain yang menandakan akhir dari sesuatu."

"Iya."

"Dari sana kita bisa simpulkan bahwa segala sesuatu bersifat terbatas. Semuanya akan mengalami kepunahan bila sudah masanya."

"Uhm, terus?"

"Segala hal yang sifatnya terbatas pasti diciptakan oleh 'sesuatu yang lain'. Dan 'sesuatu yang lain' inilah yang disebut Sang Pencipta. Dialah yang menciptakan manusia, hidup, dan kehidupan. Dengan kata lain, untuk menjadi Pencipta, 'sesuatu' harus bersifat azali (tidak berawal dan tidak berakhir)."

"Kenapa begitu?" tanyaku bingung.

"Kalau Ia berawal dan berakhir, berarti sifatnya terbatas. Sedangkan sesuatu yang terbatas itu 'kan merupakan hasil ciptaan. Betul?"

Aku mengangguk paham. "Dari penjelasanmu aku menarik kesimpulan bahwa syarat mutlak untuk menjadi Sang Pencipta yaitu wajib adanya dan Azali. Begitu?"

Dia tersenyum puas. "Kuharap kamu benar-benar mengerti."

"Baiklah, aku paham penjelasanmu. Tapi kamu belum sepenuhnya menjawab pertanyaanku."

"Apa itu?"

Aku menarik napas panjang.

"Siapakah Pencipta yang sesungguhnya?"

"Maaf, 5 menit lagi aku masuk. Insya Allah aku akan menjawabnya lain kali. Boleh aku minta nomormu?" Tanyanya sambil membereskan buku yang ada dalam pangkuannya.

"Boleh."

-TBC-

a.n 17 September 2017

Anonim | ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang