27. Seberapa Dekat?

1K 150 23
                                    

"Kamu mau pulang sekarang?" tanyaku pada gadis yang sedang memasukkan pakaiannya ke dalam sebuah tas.

"Kenapa? Kamu memintaku untuk menginap lagi?"

Aku mencibir.

Sepertinya aku pernah mendengar jawaban semacam itu. Tapi, di mana? Dan siapa yang mengatakannya?

"Uhm ... Risa," panggilku ragu.

"Ada apa?" sahut Risa sambil menenteng tasnya.

"Aku mau bertanya, dan kamu harus menjawabnya dengan jujur."

Setelah berpikir mendalam, aku memutuskan untuk mengorek informasi darinya. Sudah cukup aku terjebak dalam kebingungan yang mereka ciptakan. Dia dan laki-laki itu.

"Bagaimana kamu bisa tahu rumahku?"

"Sudah kubilang, kan? Seseorang memberitahukannya padaku."

"Siapa? Abdullah?"

Siapa lagi kalau bukan dia? Kurasa hanya Abdullah yang tahu alamat rumahku. Dan pihak birokrasi tentunya. Karena aku pernah mengisi biodata dalam database kampus.

"Iya."

Aku memicingkan mata. Itu tandanya mereka sudah lama saling mengenal, kan? Tapi saat itu Risa duluan yang datang ke rumah, lalu setelahnya Abdullah.

"Kamu dan dia saling mengenal?"

Risa terkekeh. "Tentu saja."

"Bagaimana bisa?"

Oke. Baru kali ini aku penasaran dengan kehidupan pribadi orang lain.

Risa mengangkat sebelah alisnya.

"Untuk apa kamu bertanya tentang itu?"

"Uhm ... kita 'kan teman. Apa salahnya saling mengenal? Kalian berdua tahu rumahku, tapi aku sama sekali tidak tahu apapun tentang kalian. Ya, kecuali nama."

"Wah, perkembangan hebat. Tidak kusangka orang sepertimu akan tertarik dengan kehidupan orang lain."

"Hei! Apa maksudmu dengan orang sepertiku? Dan, aku tidak tertarik! Hanya ... sedikit penasaran."

Risa malah tergelak.

"Kenapa kamu tidak tanya padanya saja? Kalian 'kan satu kelas. Kamu memiliki lebih banyak waktu pertemuan dengan dia."

Aku berdecak.

Aku sudah menyerah bertanya padanya.

"Apa dia masih sering membatasi pergaulan dengan perempuan?" tanya Risa tiba-tiba.

Aku tersentak kaget. Bagaimana dia bisa tahu?

"Ah ... itu, kami punya hubungan yang cukup dekat," terangnya seolah membaca keterkejutanku.

Dekat? Seberapa dekat?

Entah mengapa ada yang berbeda di dalam sana. Seolah aku tidak ... suka? Ah, ini pasti hanya perasaan tidak terima kalau teman pertamaku diambil orang.

Aku menggeleng kuat.

Pikiran macam apa itu?

"Ada lagi yang ingin kamu tanyakan? Kalau tidak, aku akan pergi."

Banyak. Tapi mendadak seluruh pertanyaan yang tersusun rapi dalam otakku, tiba-tiba lenyap entah kemana, buyar tak bersisa.

Alhasil, aku hanya menggeleng lemah.

Aku kenapa? Mood-ku hilang dalam sekejap.

"Tidak? Baiklah."

Kulihat Risa kembali membuka tasnya. Dia mengeluarkan sebuah kotak berbentuk persegi panjang yang dibungkus rapi dengan kertas kado.

"Aku hampir lupa." Dia menyodorkan kotaknya ke arahku, "ini untukmu."

"Apa ini?"

"Buka saja," ucapnya disertai senyuman manis.

"Yasudah, aku pergi, permisi."

Dan tanpa menunggu jawaban, dia langsung berlalu dari hadapanku.

Aku pun tak peduli. Karena sudah terfokus pada kadonya.

"Hei, Anonim!"

Aku menoleh ke arah pintu begitu kudengar sebuah suara berseru memanggilku.

"Lain kali, kamu harus memanggilku kakak!" ucap Risa sebelum akhirnya benar-benar menghilang.

-TBC-

Adakah yang menunggu cerita ini?

20 November 2017

Anonim | ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang