Aku duduk termenung sembari memandangi langit malam dari jendela kamarku. Seulas senyum terukir kala aku menyaksikan bintang kecil yang berkelap-kelip.
Seandainya bisa, aku ingin hidup seperti bintang. Meski bentuknya berbeda-beda tapi mereka tak pernah saling mencibir. Bintang hidup dengan damai dan saling bekerja sama untuk memperindah pesona langit malam.
Sangat berbeda dengan kehidupan yang dijalani oleh manusia. Keberagaman terkadang menjadi sebab terjadinya pertentangan. Setiap manusia menganggap dirinya yang paling benar. Tanpa sadar keangkuhan dan kebencian merusak persaudaraan.
Kenapa kita tidak hidup layaknya bintang? Bersatu untuk merawat dan mengurus bumi tempat kita tinggal. Bukankah hidup jauh lebih menyenangkan dengan perdamaian.
Bahkan, sebuah nama yang terdengar aneh menjadi sebab seseorang diasingkan. Memangnya, seorang bayi yang terlahir ke dunia pernah meminta untuk diberi nama tertentu?
Aku menoleh tatkala mendengar suara pintu berderit.
"Ibu." Aku tersenyum singkat pada sosok wanita hebat yang telah melahirkan dan merawatku.
"Kenapa belum tidur? Ini sudah larut malam." Ibu berjalan menghampiriku, dia berdiri di sampingku.
"Aku belum mengantuk."
"Ada apa, hm? Kamu kelihatan murung." Ibu mengelus rambut panjangku.
"Bu, kenapa mereka dinamakan bintang?" Aku menunjuk bintang kecil yang ada di langit.
Ibu malah terkekeh mendengar pertanyaanku.
"Mana Ibu tahu, bukan aku yang memberi nama mereka."
Benar. Yang paling tahu mengapa sesuatu dinamakan demikian adalah orang pertama yang menyematkan nama seperti itu. Selanjutnya, orang lain yang mulai mempelajari dan mengajarkannya.
"Kalau begitu," aku memiringkan badan, menghadap pada Ibu. "Kenapa aku diberi nama Anonim?" tanyaku dengan suara pelan.
Sejak kecil aku tak pernah mempertanyakan filosofi dibalik namaku. Bagiku, apapun yang orang tua berikan pasti adalah yang terbaik bagi anaknya. Meski sesuatu itu mengandung seribu keanehan.
"Apa teman-temanmu mengejek namamu lagi?"
Aku menggeleng. "Mereka hanya tertawa."
"Itu sama saja." Ibu mencubit pipiku gemas.
"Berbeda, Bu. Mengejek adalah bentuk dari menyindir dan mengolok-olok. Sedangkan tertawa adalah ungkapan dari rasa senang, geli, dan sebagainya. Mengejek bisa diungkapkan melalui lisan, tulisan, atau tindakan. Sementara tertawa yang benar hanya bisa disalurkan lewat lisan."
"Iya deh, yang kuliahnya dijurusan Sastra Indonesia." Ibu menyenggol bahuku.
"Ibu, belum jawab pertanyaanku." Aku mengerucutkan bibir.
"Kenapa, ya? Coba tebak."
"Mana aku tahu, bukan aku yang memberi nama diriku sendiri." Aku mengembalikan kalimat yang telah Ibu lontarkan.
"Ya ampun, kamu ini." Ibu mengacak-acak rambutku.
Aku tertawa ringan. Jika aku tak bisa menemukan kebahagiaan di luar sana, aku tak perlu merasa resah. Sebab aku telah menemukannya di dalam rumah.
"Anonim, kamu tahu, apa artinya?"
"Tanpa nama?"
"Iya. Aku dan ayahmu ingin kamu menjadi anak yang banyak memberi manfaat bagi orang lain."
"Hubungannya dengan Anonim apa, Bu?"
Jika mereka menginginkan agar aku tumbuh menjadi anak yang bermanfaat. Kenapa mereka tidak memberiku nama "banyak manfaat?" Kurasa itu lebih tepat.
"Air, matahari, tumbuhan, dan segala sesuatu yang ada di dunia ini tak perlu menjelaskan kalau mereka bermanfaat bagi kehidupan. Siapapun yang membutuhkannya pasti tahu itu. Iya, kan?"
Aku mengangguk.
"Seperti halnya kata "anonim". Ia hanya digunakan untuk menerangkan sesuatu hal yang tidak diketahui dari mana sumbernya. Bisa kamu bayangkan, kalau kata anonim tidak ada? Mungkin manusia akan kelimpungan untuk mendeskripsikan sesuatu."
Aku mendengarkan penuturan Ibu, mencoba menelaahnya dengan baik.
"Terus?"
"Kami berharap, kamu menjadi orang yang kehadirannya senantiasa dibutuhkan dan dirindukan."
Tapi, untuk apa? Apa gunanya bagiku? Bukankah semua yang bernyawa akan merasakan mati. Kala jiwa telah berada dalam genggaman malaikat maut, maka segala kebahagiaan dunia akan berguguran tanpa tersisa. Perlahan tapi pasti manusia yang telah berpulang akan dilupakan. Pada akhirnya nama hanyalah sebuah kata sebagai penanda identitas.
"Kamu mengerti?"
Aku menggeleng.
"Suatu saat nanti kamu pasti paham." Ibu mengusap jariku. "Tidurlah, besok kamu harus ke kampus."
"Selamat malam, Bu." Aku mencium pipinya dan beranjak menuju kasurku.
"Malam, Sayang." Ibu melambaikan tangan, lalu menghilang di balik pintu.
Aku memiringkan badan ke kanan, kemudian memejamkan mata seraya mengucap doa sebelum tidur. Dan dalam sekejap aku sudah tenggelam dalam lelap.
-TBC-
a.n 31 Agustus 2017
KAMU SEDANG MEMBACA
Anonim | ✔
Espiritual[Chapter lengkap] Ini tentang Anonim yang berusaha menemukan makna hadirnya di dunia. Lewat tiga pertanyaan besar yang selalu menghantui pikiran. Dari mana manusia berasal? Apa tujuan hidup di dunia? Setelah meninggal, ke mana manusia akan pergi? Su...