Tok tok tok!
"Anonim! Di depan ada tamu." Suara Ibu terdengar.
"Iya, Bu!"
Aku bangkit dari kursi, kemudian bergegas menghampiri pintu. Aku menemukan seorang laki-laki dan perempuan berdiri di depan rumah begitu aku memutar kenop pintu.
"Hai," sapa laki-laki itu.
"Kamu? Apa yang kamu lakukan di sini?" tanyaku bingung.
"Kamu pasti lupa. Kita ada tugas kelompok."
"Ah, benar juga. Tapi, aku belum menghubungimu dan bagaimana kamu bisa tahu alamat rumahku?" Aku memandangnya curiga.
Dia hanya tersenyum tipis. "Boleh aku masuk?"
Dia sengaja mengabaikan pertanyaanku? Apa selama ini dia menguntitku? Tidak mungkin begitu. Dia adalah temanku, jadi wajar kalau dia bisa tahu tempat tinggalku.
"Oh, silakan."
Laki-laki itu melangkah sembari menggenggam tangan gadis kecil yang ada di sebelahnya. Dia berhenti tepat di hadapanku seraya berkata, "sepertinya kamu sangat suka menghalangi jalanku."
"Maaf." Aku bergeser, lalu berjalan mendahului mereka.
Aku mengantarkan keduanya menuju ruang tamu dan menyuruh agar menunggu sekejap. Karena aku harus menyiapkan suguhan untuk mereka berdua. Memuliakan tamu adalah salah satu hal yang selalu ibu ajarkan padaku. Meski aku tidak tahu apa manfaatnya.
"Bu, di depan ada orang."
"Siapa?"
"Abdullah. Aku harus menyuguhkan sesuatu padanya, kan?"
"Kamu temani saja dia, biar Ibu yang antarkan suguhannya."
"Baiklah. Terimakasih, Bu."
Aku pun berlalu meninggalkan Ibu. Sesampainya di ruang tamu, kulihat Abdullah sedang duduk di lantai sembari membaca sebuah buku. Sedangkan gadis kecil itu duduk di atas sofa.
"Kenapa duduk di lantai?" tanyaku sambil duduk di atas sofa yang terletak di depan Abdullah.
Dia hanya melirikku sekilas, kemudian kembali fokus terhadap bacaannya. Dia ini kenapa? Sedari tadi selalu mengabaikan ucapanku. Apa aku melakukan sesuatu yang salah?
"Boleh aku bertemu adikmu?" ucap Abdullah tanpa melihatku.
"Aku anak tunggal."
"Benarkah? Dilihat dari pakaianmu, kupikir kamu mempunyai seorang adik."
Apa maksudnya? Setiap ucapannya pasti membuatkan kebingungan. Seperti ada makna tersembunyi yang terkandung di dalamnya. Aku tidak mau bertanya tentang hal itu sebab aku yakin dia akan kembali mengabaikanku.
"Kamu masih belum mengerti?" Dia mengangkat tinggi alisnya.
"Bicara yang jelas agar aku paham."
Dia menggeleng pelan, lalu menoleh kepada gadis kecil yang diam sambil memperhatikan kami. "Kamu bawa pesananku?"
Gadis itu mengangguk. "Ini." Dia mengeluarkan kantong kresek dari dalam tasnya.
Abdullah menerima kantong tersebut.
"Dengar, Anonim. Kamu itu perempuan berpendidikan. Jadi, berpakaianlah yang selayaknya." Dia berbicara dengan ekspresi datar.
"Jadi, maksudmu pakaianku tidak layak. Begitu?"
Aku tersinggung mendengar perkataannya. Apa haknya menilai cara berbusanaku? Hanya karena kami adalah teman bukan berarti dia bebas mengatur cara berpakaianku sesuka hatinya. Inikah yang dinamakan teman? Bukankah teman harus saling menerima kondisi satu sama lain.
"Menurutmu, baju anak TK pantas digunakan oleh perempuan usia 18?"
"Ini bajuku bukan baju anak TK! Kamu datang ke sini untuk kerja kelompok bukan malah mengomentari cara berpakaianku!" seruku tidak terima.
Abdullah membereskan buku dan alat tulisannya. Kemudian dia menyodorkan sebuah kantong keresek padaku. Setelahnya, dia menyuruh gadis kecil itu berdiri.
"Aku tidak mau kerja kelompok dengan anak kecil. Jika kamu sudah paham, maka hubungi aku," ujarnya sembari berlalu pergi.
"Hei, Abdullah!" aku berteriak kesal.
Dia menghentikan langkah, lalu menoleh padaku. "Kalau kamu tidak punya pakaian yang cocok, silakan pakai baju yang ada di dalam kantong itu. Dan jangan lupa kembalikan jeketku karena aku hanya meminjamkannya padamu. Permisi."
"Dia itu kenapa sih?" gerutuku sembari membuka kantong keresek yang tadi dia berikan.
Aku menemukan selembar baju kaos berlengan panjang dan rok panjang berwarna hitam. Untuk apa dia memberikan ini?
"Loh, tamunya mana?"
Aku berjengkit kaget mendengar suara ibu.
"Udah pulang. Ibu taruh di situ aja makananya. Biar aku yang makan."
"Kalian bertengkar? Tadi Ibu dengar kamu berteriak." Ibu duduk di sebelahku.
"Aku tidak tahu. Dia itu aneh, Bu. Katanya, kami berteman tapi dia malah mengkritisiku."
"Berarti tandanya dia peduli. Memangnya dia mengatakan apa?"
"Pakaianku seperti anak TK dan dia justru memberikan pakaian ini." Aku mengangkat pakaian yang ada dalam genggamanku.
"Sebaiknya kamu berterimakasih dan meminta maaf sama dia," tutur Ibu sembari mengelus rambutku.
"Kenapa aku harus?"
"Coba kamu ke kamar dan bercermin. Kalau sudah paham, segera hubungi dia."
"Ibu ngomong apa sih?"
Ibu malah terkekeh.
"Sudah sana, Ibu mau lanjut memasak," sahutnya. Lalu pergi meninggalkanku.
Aku menghembuskan napas secara perlahan. Kemudian mengikuti perintah ibu. Mungkin saja dengan begitu aku bisa memahami maksud mereka.
Aku mematut diri di depan cermin. Kuamati seluruh badan; dari atas ke bawah dan dari depan ke belakang. Lama aku termenung memikirkan ucapan Abdullah. Pakaianku tidak layak? Kenapa? Apa karena terlalu mini?
Aku menepuk jidat. "Pantas saja dia tidak memandangku."
Aku tersenyum sendiri dan segera mengambil ponsel di atas nakas. Selanjutnya aku langsung mengirim pesan pada Abdullah.
To Hamba Allah: Aku mengerti. Maaf karena marah padamu dan terimakasih sudah mau repot mengingatkanku. Besok sore datanglah ke rumahku. Kita harus menyelesaikan tugasnya.
Send!
Tak selang berapa lama ponselku berbunyi. Aku mengeceknya dan menemukan nama Hamba Allah tertera pada layar. Cepat juga dia membalas pesanku.
From Hamba Allah: Oke.
Aku melongo membaca balasannya.
Apa? Hanya itu? Aku tidak salah lihat? Dia ini sombong sekali.
Karena kesal aku pun mematikan ponsel dan berguling-guling di atas lantai.
-TBC-
A.n: Anonim ada-ada saja :D
25 September 2017
KAMU SEDANG MEMBACA
Anonim | ✔
Espiritual[Chapter lengkap] Ini tentang Anonim yang berusaha menemukan makna hadirnya di dunia. Lewat tiga pertanyaan besar yang selalu menghantui pikiran. Dari mana manusia berasal? Apa tujuan hidup di dunia? Setelah meninggal, ke mana manusia akan pergi? Su...